Mengapa Aneta Hadir?

Info Kontak

  • Home  
  • Ibu Bumi Papua: Merawat Benih Menyembuhkan Luka
- Lingkungan & Hak Adat

Ibu Bumi Papua: Merawat Benih Menyembuhkan Luka

Oleh: Risna Hasanudin Bagi perempuan Papua, merawat benih bagian dari jalan panjang penyembuhan luka. Ini di alami oleh mama Awin Keti. Beliau adalah Penyintas Biak Berdarah. Pengalaman menyakitkan yang di alami oleh Beliau, dituangkan dalam sebuah praktek menanam bahan pangan, salah satunya adalah benih padi ladang, juga jewawut. Bagi beliau menanam adalah proses penyembuhan, dimana […]

Oleh: Risna Hasanudin

Bagi perempuan Papua, merawat benih bagian dari jalan panjang penyembuhan luka. Ini di alami oleh mama Awin Keti. Beliau adalah Penyintas Biak Berdarah. Pengalaman menyakitkan yang di alami oleh Beliau, dituangkan dalam sebuah praktek menanam bahan pangan, salah satunya adalah benih padi ladang, juga jewawut. Bagi beliau menanam adalah proses penyembuhan, dimana Negara sampai detik ini tidak tuntas dalam penyelesaian kasus – kasus pelanggaran HAM, yang korban paling banyak adalah perempua dan anak-anak. Memilih berkebun juga adalah jalan lain yang dlakukan oleh Perempuan asal teminabuan, Margaretha Segeteles (almarhumah). Kegiatan berkebun, dilakukan setelah selesai aktivitas mengajar di paud dampingan kami. Proses menyemai benih-benih tanaman adalah jalan penyembuhan bagi perempuan – perempuan Papua korban kekerasan.

“Perempuan papua punya tanggungjawab untuk kehidupan, baik untuk anak-anaknya atau keluarga, juga tanah ini. suatu saat kemerdekaan bagi tanah ini akan datang, sudah banyak luka yang kami dapatkan, maka kemerdekaan itu harus ada dan kami akan menikmati itu sampai generasi yang akan datang” pada saat mama Awin berbicara untuk kegiatan doa bersama Biak Berdarah 7 Juli 2025 di Manokwari. 

Garis Terdepan Penjaga Alam 

Relasi yang cukup kuat itu, secara tidak sadar menempatkan Perempuan Papua sebagai kelompok terdepan dalam menjaga alam, juga sebagai penggerak kehidupan, perilaku ini tercermin dari aktivitas perempuan Papua yang paling banyak menghabiskan waktu di kebun. Perempuan sebagai penghasil pangan utama keluarga memahami dengan baik kondisi alam dan perubahan alam dari waktu ke waktu, karena perubahan alam berpengaruh besar pada pemenuhan pangan keluarga, juga dalam memanfaatkan tumbuhan liar sebagai bahan obat-obatan. Sebagai contoh, Mama-mama di Pegunungan Arfak, menghabiskan 7 hingga 8 jam setiap hari untuk berkebun. Lokasi kebun berpindah, dengan prinsip igya ser hanjop (berdiri untuk menjaga batas/ menghormati batas milik marga sendiri dan orang lain), dilakukan dengan konsep-konsep menjaga alam. Kebun berpindah untuk menjaga kesuburan tanah (membiarkan 1 hingga 2 tahun) serta berkebun tanpa pupuk kimia, merupakan praktik yang biasa dilakukan oleh mama-mama untuk menjaga alam. Praktik pengelolaan dan budi daya yang dilakukan perempuan adat  wilayah Pegunungan Arfak merupakan salah satu cara mereka untuk melindungi wilayah adat agar komunitas suku memahami pentingnya wilayah tersebut. 

Dua perempuan ini memulai dengan berkebun, juga mentrasfer ilmu pengetauan dengan bercerita kepada anak – anak mereka , serta dalam kegiatan mengadvokasi kelompok masyrakatnya, dan sebagai bentuk dukungan bagi perempuan papua lainnya. Mama-mama mewariskan pengetahuan dan sejarah dari generasi ke generasi, terkait dengan bahasa, mitos, cara berladang, riwayat waris, ramuan obat herbal, ramuan racun untuk berperang, dan sistem pengerahan logistik upacara adat. Pengetahuan tradisional ini menjadi kunci keberlanjutan suku dan sumber daya alam. Kesempatan ini mereka lakukan atas dasar pengetahuan tradisional mereka bagaimanan Perempuan papua dalam memahami alam itu sendiri, 

Suara perempuan papua

Luka panjang orang Papua, terekam kuat dalam memori pasionis mereka. Itu mereka tuangkan dalam proses advokasi dan penolakan-penolakan yang dilakukan oleh masyrakat Papua. Dalam Penolakan Program Stratgsi Nasional, Makan Bergizi gratis dan Food Estate di Papua, Mama  Awin keti berteriak dengan lantang “kami orang papua tidak miskin, lumbung pangan kami sangat banyak, sumber pangan kami ada dihutan, dan makanan kami juga sangat bergizi. Program makanan bergizi gratis adalah bentuk penghinaan bagi kami perempuan Papua, kalian menghina eksistensi perempuan adat papua dalam meberikan makan anak-anaknya. 

Papua memiliki akar budaya yang berpusat pada perempuan. Pergeseran zaman membuat posisi perempuan terpinggirkan dan terlupakan dari keputusan strategis. Mengelola dan menjaga sumber daya alam untuk hidup keluarga adalah pekerjaan ekstra keras. Kekayaan pengetahuan perempuan perlu didengarkan secara layak dibarengi dengan peningkatan pemberdayaan dan kapasitas kepemimpinan perempuan untuk bersuara di ruang-ruang publik.

Akses keadilan yang sangat sulit bagi perempuan  papua yang mengalami kekerasan, adalah bentuk dari tidak dilibatkanya perempuan papua, bahkan masyarakat adat itu sendiri di ruang publik. Perempuan kerap dianggap tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, bukan oleh orang lain, melainkan oleh masyarakat setempat. Budaya patriarki yang sangat kuat mengahruskan Perempuan papua, memilih jalan sungi penyembuhan luka atas kekerasan yang mereka alami. Sekalipun kesempatan perempuan papua dalam ruang – ruang publik semakin terbuka, tetapi tantangan yang terbesar adalah memastikan kekuasaan dalam proses pembuatan keputusan yang menekankan kepentingan peran perempuan.

Mama Awin Keti dan Margaerha adalah dua sosok dengan pengalaman kekerasan yang berbeda. Dan mereka menyembuhkan luka mereka dengan aktivitas yang juga berbeda. Mama Awin dengan gerakan aktivismenya yaitu advokasi, sedangkan Margaretha melalui komunitas Rumah Noken dengan gerakan Literasi yang berfokus terhadap anak-anak, Perempuan dan Lingkungan. Semua bersumber dari gerakan penyadaran atau pendidikan. Bagi mereka pendidikan adalah tonggak dari sebuah perjuangan. 

Kemerdekaan yang tercerabut

Pada saat integrasi papua ke Indonesia, tahun 1962. Kemerdekaan yang di nantikan orang papua semakin hari semakin tercerabut. Dari PT Freepot sampai kebijakan Negara sekarang ini, masyarakat papua kehilangan Identitasnya. Kekerasan dan pembunuhan atas operasi militer untuk menjaga lahan yang di ambil sebagai program nasional, terus terjadi.

“bagi kami merdeka adalah: jangan menaggap kami separatis, ketika kami menggunakan simbol kebudayan dan berjuang atas tanah adat kami, kami berhak menggunakan atribut dan menjaga tanah adat kami.”

*Penulis adalah aktivis perempuan yang bekerja di Manokwari, Papua Barat. Melalui Rumah Noken, ia membangun ruang belajar dan solidaritas bagi perempuan Papua. Ia juga merupakan bagian dari Aneta.

Dokumentasi Kegiatan Rumah Noken

Tentang Aneta

Aneta lahir sebagai respons atas kekosongan itu. Kami adalah media alternatif yang hadir untuk mendokumentasikan, menyuarakan, dan memperjuangkan pengalaman serta pengetahuan perempuan Papua dan kelompok marjinal. 

Kontak: +62 …

Visi

“Aneta menjadi ruang berpikir, berlawan, dan bertutur bagi perempuan dan kelompok marjinal untuk masa depan yang adil, setara, dan tanpa diskriminasi.”

Aneta @2025