
Oleh : Sophia Bano & Godlief Muabuay
Tanggal 9 Agustus telah kita lewati, namun refleksi kritis tentang segala yang terjadi di Kampung-kampung di Tanah Papua masih perlu terus suarakan.
Pada 8 Agustus 2025 kami menerima tulisan dari Sophia Bano mengenai refleksinya dalam hari masyarakat adat. Kami juga menerima tulisan analisis tentang Perempuan Adat Papua. Atas izin dari kedua penulis, kami menyatukan dua tulisan yang berisi refleksi dan analisis.
Perempuan Penjaga Hutan – Sophia Bano
Papua – Tanah dimana Matahari terbit dan menyingsing. Hijau hutan menyapa. Sungai-sungai berliku. Gunung-gunung menyentuh Awan. Birunya langit terbentang. Burung-burung berkicauan lagu di setiap pepohonan. Angin sore meniup lembut membawa lantunan suara burung, di dalamnya terdengar suara Burung Cendrawasih. Burung kebanggaan kami Orang Papua.
Sangat menarik bila dipandanginya dan ini menjadi perhatian para pengunjung.
Kata Orang Cendrawasih Burung Surga.
Kini Cendrawasih kami mulai sirnah. Buluh tubuhnya di cabut secara paksa, untuk dijadikan perhiasan tari-tarian dan tubuhnya dijadikan santapan yang lezat.
Tanah Papua bagaikan Burung Cendrawasih dengan keindahan dan kekayaan Alamnya, yang seharusnya hadir untuk dihormati, dilindungi dan dihargai. Kini Cendrawasih kami digusur habis habisan.
Langit pagi di Namblong masih berselimut kabut udara dingin menusuk, namun hangat.
Rosita, perempuan setengah baya yang bekerja sebagai Ketua Organisasi Perempuan Adat ini melangkah ringan melewati jalan setapak menuju tempat aktivitasnya. Di pundaknya tergantung tas anyaman noken yang di buat Mamanya, noken yang penuh buku dan harapan.
Rosita sangat mencintai tanah kelahirannya, Namblong – Papua. Baginya tanah ini bukan hanya tempat tinggal tapi rumah bagi burung-burung Cendrawasih yang indah, pohon-pohon tinggi yang menjulang, dan budaya yang kaya warna. Ia sering berdiri di tepi hutan, memandangi burung cendrawasih yang menari di udara dan membayangkan suatu hari bisa menjadi peneliti yang melindungi burung cenderawasih. Namun keindahan itu mulai terancam.
Hutan-hutan di buka, lalu hasil hutan di ambil. Burung-burung di tangkap, dan tanah adat diperebutkan oleh para pengusaha kapitalis. Perempuan mengalami kehilangan akses dari ruang produksinya.
Lamek Tecuari Ayah dari Rosita Tecuari adalah seorang kepala suku sering pulang dengan wajah muram, ia tahu perubahan sedang datang dan tidak semuanya membawa kebaikan.
Suatu hari Rosita dan teman-temanya diminta membuat proyek tentang alam Papua. Rosita langsung tahu sebuah dokumentasi kecil tentang burung cendrawasih dan pentingnya menjaga hutan.
Semasa kanak-kanak Rosita menjelajahi hutan bersama orang tuanya, seorang pemburu yang kini berhenti menangkap burung demi kelestarian Alam. Mereka merekam tarian cendrawasih, suara hutan dan cerita dari para orang tua tentang bagaimana burung itu dianggap titisan roh leluhur.
Suatu hari di perjalanan menuju Kampung Berap terdengar suara burung Cendrawasih menari, suara alam berpadu dengan irama hati yang mencintai tanahnya. Cendrawasih bukan hanya milik Papua, tetapi milik Indonesia, juga dunia.
Tetapi jika kita sebagai anak-anak Papua tidak menjaganya, lalu siapa lagi yang akan menjaganya?
Rosita adalah Ketua Organisasi Perempuan Adat Suku Namblong. Ia dikenal sebagai Papua yang sangat mencintai tanahnya dengan sepenuh jiwanya, ia berjanji suatu hari akan ada penjaga hutan yang sesungguhnya, bukan dengan senjata tapi dengan ilmu dan cinta.
Dan di setiap mimpinya, ia berharap burung cendrawasih terus menari seolah sedang berkata “Terima kasih Anak ku”
***************
Sebelum tulisan Sophia sampai pada Aneta, tulisan Godlief Muabuay terlebih dahulu kami terima. Ia memperdalam cerita Sophia tentang relasi Perempuan, Hutan dan Cenderawasih yang dekat dengan masyarakat Namblong.
Perempuan Adat Papua: Tubuh, Tanah, dan Perlawanan dalam Bayang Kekuasaan dan Perusakan Alam – Godlief Muabuay
“Tanah bukan hanya warisan dari nenek moyang, tetapi titipan untuk anak cucu.”
Setiap tanggal 9 Agustus, dunia memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia. Di tengah perayaan ini, perempuan adat Papua tetap berdiri di garis depan perjuangan mempertahankan tanah, air, hutan, dan kehidupan dari ancaman nyata perusakan alam oleh tambang, industri, dan proyek-proyek besar yang tidak melibatkan persetujuan mereka.
Di Papua, tanah bukan sekedar ruang. Ia adalah ibu dan sumber kehidupan. Bagi perempuan adat, hubungan dengan tanah adalah bagian dari identitas dan keberlangsungan hidup. Namun hari-hari ini, hubungan itu dipaksa terputus. Hutan adat dibabat untuk kepentingan jalan, perkebunan sawit, tambang, dan infrastruktur yang sering disebut sebagai pembangunan. Padahal, apa arti pembangunan jika air tercemar, perempuan kehilangan tempat menanam, dan anak-anak tak lagi mengenal nama-nama pohon dalam bahasa nenek mereka?
Tubuh perempuan adat Papua juga mengalami kekerasan yang berlapis. Mereka tidak hanya menghadapi represi negara, tetapi juga sering kali disingkirkan dalam struktur adat yang patriarkal. Suara mereka kerap dianggap tak penting. Namun kenyataannya, banyak perempuan adat adalah penjaga paling setia terhadap tanah dan kehidupan komunitasnya.
Feminisme yang hidup di tubuh perempuan adat Papua bukan berasal dari buku atau teori luar. Ia tumbuh dari tanah dan pengalaman hidup. Dari nyanyian ritual, anyaman noken, rasa kehilangan akan hutan, dan dari cinta terhadap generasi yang akan datang. Bagi mereka, kerusakan alam bukan hanya hilangnya hutan, tetapi juga hilangnya bahasa, identitas, dan masa depan.
Melalui analisis feminis, kita bisa melihat bagaimana kekuasaan bekerja secara tumpang tindih. Kolonialisme merampas sumber daya alam Papua, rasisme meminggirkan suara orang Papua, dan patriarki mengecilkan suara perempuan adat. Semua ini menekan tubuh perempuan, namun dari luka itu juga tumbuh keberanian dan kesadaran.
Perempuan adat Papua bukan korban yang diam. Mereka adalah penggerak perubahan yang membawa nilai-nilai hidup bersama alam. Nilai-nilai ini tidak tertulis dalam dokumen proyek, tetapi hidup dalam praktik sehari-hari: menjaga kebun, menyembuhkan dengan daun, mendongengkan sungai kepada anak-anak, menjaga bahasa dan adat.
Menulis tentang ini adalah bagian dari perjuangan. Suara perempuan adat adalah cermin dari apa arti kehilangan dan harapan. Di tengah kerusakan yang terus terjadi, suara mereka adalah yang paling jujur tentang hidup dan keberlangsungan.
Tulisan ini merupakan bagian dari perjuangan bersama untuk menjaga tanah, air, dan manusia Papua. Perempuan adat bukan hanya penjaga tradisi, mereka adalah penjaga masa depan.
*************
Penutup
Pengalaman Sophia Bano dan refleksinya tentang Perempuan Penjaga Hutan bertaut erat dengan Analisis Godlief tentang Perempuan Adat yang mengenal feminisme bukan dari buku dan teori, tetapi dari tanah dan pengalaman hidup mereka bersama alam, hutan, burung cendrawasih dst.
Keresahan Mama Rosita tentang kehilangan hutan sebagai ruang produksi memperkuat apa yang dikatakan oleh Godlief, yaitu hubungan dengan tanah yang dimiliki oleh Perempuan adat adalah cerminan identitas dan keberlangsungan hidup.
Gerakan Mama Rosita bersama Organisasi Perempuan Adat yang dituliskan oleh Sophia adalah hasil dari kesadarannya yang terbentuk dari pengalamannya. Bukan sekedar untuk menjaga hutan yang memiliki cerita bersama Ayahnya, tetapi merawat kehidupan bagi anak-cucu mereka di masa depan.

