- Refleksi

Rumah Yang Tidak Aman

“Kata orang cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya, namun mengapa cinta itu tak saya dapatkan? Ayah, waktu kau mengatakan bahwa saya adalah anak yang tidak berguna, saya merasa kau merendahkan diri saya. Saya tidak pernah berhenti mencintaimu, tapi saya mulai membenci diri saya sendiri karena saya tidak bisa menjadi anak yang berguna bagimu.” Penulis : […]

“Kata orang cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya, namun mengapa cinta itu tak saya dapatkan? Ayah, waktu kau mengatakan bahwa saya adalah anak yang tidak berguna, saya merasa kau merendahkan diri saya. Saya tidak pernah berhenti mencintaimu, tapi saya mulai membenci diri saya sendiri karena saya tidak bisa menjadi anak yang berguna bagimu.”

Penulis : Selene

Ketika dilahirkan ke dunia, saya tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai anak perempuan terakhir di dalam keluarga. Saya tidak dikasih pilihan untuk lahir di dalam keluarga seperti apa yang saya mau. Saya berpikir saya lahir atas kehendak Tuhan. Tetapi ketika saya tumbuh dan berkembang di tengah keluarga, kenapa orang tua saya tidak memberikan saya kasih sayang yang sama seperti yang didapatkan oleh kaka-kaka saya? Atau mungkin saya yang salah karena tidak bisa mengerti cara orangtua saya dalam menunjukan kasih sayang mereka kepada anak-anak? Entahlah.

Kami lima bersaudara. Anak nomor 1, 2, dan 3 adalah perempuan, dan anak ke-4 seorang laki-laki. Saya anak bungsu, perempuan. Banyak kejadian buruk yang saya lewati sewaktu kecil yang membuat saya tumbuh menjadi anak perempuan yang penuh luka batin dan penuh emosi. Saya menyebutnya sebagai luka batin, karena ketika saya tidak mampu melakukan yang terbaik untuk diri saya, atau tidak mampu untuk membahagiakan orang-orang yang saya sayang, hal itu membuat saya merasa sedih berkepanjangan. Saya menganggap diri saya gagal sebagai manusia dan itu menjadi beban pikiran saya. Bukan hanya itu, ketika saya dituntut untuk harus mengerti kondisi orang lain yang lagi lelah, di saat saya juga lagi lelah, hal sekecil itu bisa dengan mudah membuat saya mengalami stress. 

Saya merasa, sejak kecil saya tidak pernah mendapatkan perhatian atau mendapat giliran untuk diperhatikan. Saya merasa selalu diabaikan. Kejadian di masa kecil terkadang membuat mulut saya menjadi tidak sopan ketika sesekali berdebat dengan orangtua. Ketika sudah selesai berdebat, barulah saya mulai merasa bersalah atas setiap ucapan yang saya lontarkan kepada mereka. Hal itu juga akan menjadi beban pikiran. Otak saya secara spontan memberitahu saya bahwa memang saya adalah anak yang bodoh dan tidak berguna. 

Saya tidak mampu memberitahukan perasaan yang membuat saya tertekan. Saya lebih pilih memendam sendiri dan menjauh dari semua orang. Saya takut ketika berhadapan dengan mereka, dan mereka tidak sengaja mereka membuat saya marah, saya mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya saya katakan, dan pada akhirnya membuat saya merasa bersalah. Saya bisa bilang “Saya benci kalian. Kalian seperti binatang. Atau saya benci hidup bersama kalian.” Yah.. itu kata-kata yang sering kali ingin keluar dari mulut saya, namun berusaha saya kontrol agar kata-kata itu tidak keluar, terutama untuk masalah-masalah kecil. Ketika mengontrol diri saya untuk tidak mengeluarkan kata-kata seperti itu, itu malah menjadi tekanan dalam diri saya. Ketika sedang lelah dengan suasana seperti itu, biasanya saya langsung menyendiri.

Semua berawal dari waktu saya berumur 10 tahun. Saya baru duduk di kelas 5 SD. Saat itu saya pulang sekolah pukul 11 siang. Saya langsung ganti pakaian seragam dan pergi ke rumah tante saya. Lokasinya tidak jauh dari rumah, hanya lewat satu rumah dari rumah saya. Saya mau meminta tolong tante menganyam rambut saya. Sementara rambut dianyam, ayah saya yang entah habis dari mana, langsung memanggil saya. Saya tidak langsung menghampiri, karena saya sedang menganyam rambut. Ayah memanggil dua sampai tiga kali. Saya tetap tidak menghampirinya. Ayah akhirnya menghampiri saya. Dia memarahi saya dengan mengatakan, “Goblok, orangtua kalau panggil itu dengar.” Setelah mengatakan hal itu, saya disuruhnya pulang. Saya hanya diam karena saya tahu bahwa saya salah.

Ketika sampai di rumah, saya langsung masuk ke dalam kamar, tapi saya dipanggil keluar dan dipukul hingga terjatuh. Saya ditendang, diinjak hingga saya buang air besar (BAB) di celana. Dada saya terasa begitu sakit. Saya menangis kesakitan dan agak malu karena BAB di celana. Tidak ada hal yang bisa saya lakukan selain langsung bergegas membersihkan diri dan langsung naik ke atas tempat tidur. 

Waktu kejadian itu, saya tidak ingat di mana ibu saya berada. Karena ketika pulang dari sekolah, saya memanggilnya dari depan rumah hingga masuk ke dapur, namun ibu tidak menjawab saya. Saya hanya melihat kaka saya yang nomor dua sedang duduk di dalam rumah. Dia tidak melakukan apa-apa ketika saya dipukul karena dia juga sedang sakit.

Saya mulai mengenang beberapa kejadian lainnya yang membuat saya menyadari bahwa saya tidak pernah disayang ayah. Beberapa perlakuan orangtua saya yang menurut saya tidak wajar seperti, saya tidak boleh pergi main ketika pekerjaan rumah belum beres, tapi kaka-kaka saya diperbolehkan. Bahkan ketika mereka pulang, makanan mereka sudah disiapkan. Ketika saya dipukul atau dimarahi, tidak ada yang membela saya. Saya melihat bahwa ibu lebih menyayangi kaka saya yang nomor dua dan juga nomor empat, sedangkan ayah lebih menyayangi kaka saya yang nomor satu dan nomor tiga. Ketika ibu saya memarahi kaka saya yang nomor satu atau tiga, pasti ayah saya akan membela mereka. Begitupun sebaliknya, ketika ayah saya memarahi kaka saya yang nomor dua atau empat, pasti ibu saya akan membela mereka, sekalipun mereka bersalah. Sedangkan ketika saya tidak sengaja melakukan kesalahan dan dipukul, selalu saya hanya disuruh mengerti kondisi orangtua yang mungkin lagi lelah. It’s okay, tapi saya merasa jengkel karena hal ini tidak berlaku bagi saudara saya yang lain.

Situasi ini juga terjadi setiap kali ayah saya pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Dia pasti menjadikan saya sebagai sasaran pukulan. Saya tidak tahu kenapa setiap kali ayah mabuk, ayah harus memukul saya atau bahkan mengatakan saya “anak yang tidak berguna, tidak bisa bantu orangtua, dan anak goblok.” Ayah selalu melihat saya seperti musuh dan terkadang memukul saya tanpa sebab. Saya bingung. Saya tidak pernah memberitahu hal ini juga ke ibu karena takut membuat mereka bertengkar.

Padahal saya selalu melakukan apa yang mereka mau. Tinggal tenang di rumah membantu ibu. Saya bahkan selalu berusaha untuk mengerti situasi ketika ayah pulang dalam keadaan mabuk. Ada masa di mana hanya kami bereempat di rumah. Kaka pertama sudah berkeluarga, jadi tinggal bersama suaminya. Kaka nomor dua sudah kuliah dan kaka nomor tiga di sekolah menengan pertama sehingga harus  tinggal dengan tante saya karena jarak sekolah yang dekat dengan rumahnya. Tinggal kedua orang tua, kaka nomor empat, dan saya di rumah. Kaka laki-laki nomor empat selalu main sampai larut malam dan jarang sekali di rumah. Jadi yang selalu menerima perlakuan buruk ketika ayah mabuk adalah saya.

Kejadian lain yang membuat saya merasa diperlakukan tidak adil waktu saya meminta uang Rp 50.000 ke ayah untuk beli buku cetak di sekolah. Ayah mengatakan bahwa tidak ada uang. Di waktu yang hampir bersamaan, kaka nomor tiga minta dibelikan kamera yang harganya jutaan rupiah. Detik itu juga ayah menyuruhnya untuk mengecek harga kamera yang diinginkannya. Lagi-lagi saya hanya bisa diam, karena jika saya bertanya atau mengatakan sesuatu, saya pasti akan kena marah dan dikatai anak tidak tahu bersyukur. Pada saat itu, saya merasa sedikit jengkel, karena di saat saya sedang berusaha memahami kondisi ayah yang pekerjaannya sebagai kepala tukang, sehingga saya hanya meminta Rp50.000 yang menurut saya tidak terlalu besar, tapi ternyata usaha saya tidak dihargai.

Selain dua kejadian itu, ada juga waktu dimana kami sedang duduk bersama di dalam rumah. Ayah mengeluarkan album foto dan memanggil saya dan kaka nomor tiga untuk melihat setiap jepretan yang ayah saya ambil. Saya melihat bahwa setiap anak memiliki foto, namun saya tidak ada foto. Jadi saya bertanya kepada ayah, “Kenapa saya tidak memiliki foto waktu bayi?” Kaka saya menjawab, “Kamu tidak penting!”, sambil tertawa. Mungkin itu candaan bagi dia, tapi itu membuat perasaan saya sangat sedih.

Setelah mengingat beberapa kejadian itu, hati saya sangat sakit. Jadi rasa sakitnya bertambah dengan rasa sakit pas badan kecil saya dibanting dan diinjak tanpa rasa kasihan sedikit pun, walau saya sudah berteriak memohon ampun. Saya mulai menanamkan dalam pikiran saya bahwa memang saya tidak disayang dan tidak pernah didengar, jadi untuk apa saya bersuara menyampaikan apa yang saya rasa.

Perasaan buruk ini sudah ada sejak saya berumur 10 tahun. Umur di mana seorang anak perempuan kecil masih sangat membutuhkan kasih sayang dari orangtua, namun sayangnya saya tidak dapat merasakan hal itu. Atau mungkin saya salah karena tidak bisa melihat cara orangtua saya dalam menunjukan kasih sayang mereka terhadap anak-anak mereka. 

Saya merasa sedikit ada perubahan, ketika kaka nomor dua meninggal dunia. Waktu itu saya berumur 11 tahun. Ayah mengurangi kebiasaan mabuk. Ayah juga sudah jarang mengatakan hal-hal buruk yang suka ia lontarkan kepada saya. Yah, mungkin keadaan saya sedikit jauh lebih baik, tapi dampak dari kejadian 5 tahun lalu membentuk karakter baru dalam diri saya. Saya jadi suka membantah ayah ketika ia menyuruh saya. Terkadang saya suka berdebat dengannya, ketika ia masih terus membela kaka-kaka ketika mereka buat salah.

Lima tahun berlalu, namun kejadian itu masih membuat saya sakit hati setiap kali mengingatnya. Saya jadi anak yang tidak suka berkumpul dengan keluarga dan selalu menjauhkan diri dari mereka. Saya merasa tertekan dan stres ketika berada di dalam rumah atau bahkan berada di dekat ayah. Menghabiskan waktu di luar rumah dengan lingkungan yang baru, membuat saya merasa jauh lebih baik dibandingkan tinggal serumah dengan orang yang tidak menganggap atau menyayangi saya.

Langkah pertama yang saya ambil waktu umur saya 15 tahun adalah menghabiskan waktu dengan teman-teman di luar rumah sehabis pulang sekolah. Kami melakukan segala hal yang membuat saya senang dan sejenak melupakan masalah saya dalam rumah. Saya mengikuti ajakan minum miras dan merokok dari teman-teman. Saya jadi suka keluyuran sampai larut malam, bahkan tidak pulang ke rumah. Tak ada keluarga yang tahu kalau saya mengkonsumsi minuman keras dan juga merokok, karena saya melakukannya diam-diam.

Langkah yang saya ambil ini, awalnya memang membuat tenang. Namun seiring berjalanya waktu, hal itu mendatangkan keburukan bagi diri saya sendiri. Saya malah terjebak dengan kenyaman yang saya buat sendiri. Selama lima tahun mengkonsumsi minuman beralkohol, merokok, jarang makan, dan stress yang berlebihan, semuanya itu membuat organ tubuh saya menjadi tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. 

Tahun 2020, saya mulai merasakan sakit hebat di bagian ulu hati. Dada saya terasa panas. Tapi saya tidak memberitahukan keluarga. Saya tahu ini jelas kesalahan saya karena mengkonsumsi minuman beralkohol. Saya takut  dimarahi. Selain itu, saya juga tidak memberitahu ibu,takut hal ini malah menjadi beban pikiran untuknya. Saya memberanikan diri untuk periksa sendiri ke puskesmas. Dokter bilang kalau saya terkena sakit maag. Dokter melarang saya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan penyakit maag ini. Mulai saat itu saya mulai berhenti mengkonsumsi minuman beralkohol dan merokok, serta mulai mengontrol pola makan saya. Namun meski ketiga hal itu dapat saya tangani, saya tetap kesulitan untuk mengontrol pikiran saya agar tidak  mudah stres. Hal itu membuat terkadang maag saya kambuh. Keluarga berpikir itu hanya sakit maag biasa atau karena saya telat makan.  

Saya mulai membayangkan kehidupan saya ke depan akan seperti apa. Hal yang paling saya inginkan dari kecil adalah hidup sendiri dan jauh dari keluarga. 

Pada Mei 2021 saya lulus SMA. Dengan penuh kepercayaan diri, saya menyiapkan segala persyaratan untuk tes masuk TNI-AD. Keluarga saya tahu saya sedang persiapan untuk ikut tes. Saat itu mereka melontarkan kalimat “fisik lemah, suka sakit-sakit, untuk apa tes anggota!” Saya tidak memperdulikan hal itu. Bukan baru pertama kali saya diperlakukan seperti itu. Saya tetap melanjutkan tes, namun saya dinyatakan tidak lulus. Hal ini membuat saya stress dan putus harapan. 

Pulang mendengar hasil pengumuman itu, saya menghubungi beberapa teman dan mengajak mereka untuk mabuk. Setelah itu saya pulang dan masuk kamar. Saya berdoa kepada Tuhan melaporkan semua yang telah terjadi, dan semua yang membuat saya sedih. Saya bertanya kepada Tuhan tentang apa yang harus saya lakukan selanjutnya. Saya bingung.

Tak lama kemudian, teman saya menghubungi saya dan menyuruh saya untuk membawakan beberapa persyaratan untuk mendaftar ke perguruan tinggi. Saya mengikuti apa yang teman saya sampaikan. Namun ternyata pendaftarannya sudah ditutup. Saya pulang dengan kecewa. Tidak ada yang benar-benar peduli dengan saya. Lewat seminggu, saya dihubungi oleh pihak kampus. Mereka meminta saya kembali untuk melengkapi berkas serta memilih jurusan karena saya sudah diterima di universitas. Dan puji Tuhan, saya juga mendapatkan beasiswa. Semua baru berjalan baik.

Pada tahun 2022, kaka saya yang nomor 1 juga meninggal karena sakit. Kami semua sangat sedih. Saya yang awalnya keras dan tidak terlalu peduli soal keadaan rumah, soal orangtua, soal kaka beradik, akhirnya saya mulai sadar bahwa tersisa 3 orang bersaudara. Kami tidak banyak atau sudah tidak seperti dulu lagi. Sekarang saya hanya memiliki dua orang kaka. Saya mulai belajar  untuk merangkul kedua kaka agar kami saling sayang.

Lewat beberapa bulan setelah kepergian kaka pertama, saya mulai merasakan sakit perut di bagian kanan bawah secara terus menerus. Jadi saya memberitahu ibu, kemudian kami pergi melakukan pemeriksaan ke rumah sakit. Setelah diperiksa, Saya didiagnosa apendisitis atau radang usus buntu. Saya disarankan segera menjalani operasi. 

Ibu langsung menyampaikan hal tersebut kepada ayah. Ayah menanyakan soal perasaan saya. Rasanya ingin menangis, namun saya menahan air mata. Saya dan berusaha menjawab dengan muka datar, meyakinkan bahwa perasaan saya baik-baik saja. Mulai detik itu saya melihat perhatian yang ayah saya berikan, tapi tetap saja ada rasa jengkel di hati. “Kenapa tidak kau berikan perhatian ini sewaktu saya kecil?” Saya berusaha untuk bersyukur. 

Setelah melakukan operasi usus buntu, semua berjalan baik. Sambil kuliah, saya mulai mencari kesibukan dengan bergabung di beberapa komunitas. Saya sangat menikmati hal itu. Orangtua juga mendukung. Hanya beberapa orang dalam keluarga yang melihatnya secara negatif, karena saya tidak pernah ada di dalam rumah dan tidak pernah terlihat membantu orangtua. Karena tidak ingin berdebat, saya melakukan semua keinginan mereka. Saya berusaha menjadi anak yang baik dalam keluarga, berusaha menyenangkan mereka. Tetapi ketika malam tiba, saya selalu menyendiri di dalam kamar memikirkan semua hal yang terjadi dalam hidup saya. Hal itu membuat saya lelah secara fisik dan juga mental. 

Pertengahan tahun 2023 saya mulai merasakan sakit setiap kali menstruasi. Saya berpikir bahwa itu normal,  jadi tidak saya pedulikan. Untuk menghilangkan rasa nyeri, saya mengkonsumsi obat Asam Mefenamat. Namun sakit terus berlanjut. Hingga pada Desember 2023, saya merasakan nyeri hebat di bagian perut kiri bawah. Ketika ke Puskesmas, petugas  hanya memberikan saya obat anti nyeri Diclofenac. Obat ini memang mempan dan menghilangkan rasa nyeri, namun setiap menstruasi rasa nyeri akan terus bertambah. Hal ini membuat saya semakin stres. Saya tidak memberitahukan hal ini kepada siapapun karena saya pikir ini hal yang biasa. Saya juga takut hal ini akan menjadi beban pikiran buat kedua orang tua. Saya mencoba untuk menanganinya sendiri.

Pada April 2024 ketika saya ke rumah sakit untuk melakukan Ultrasonografi (USG).  Saya kemudian didiagnosa kista endometriosis dan harus segera di operasi. Ketika mendengar hal ini dari dokter, saya sangat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Banyak hal yang saya pikirkan.  Saya sedang kuliah. Jika harus operasi lagi, itu akan mengganggu studi saya. Jadi saya tidak mau. Saya sempat berpikir bahwa saya tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Saya hanya beruntung dalam pendidikan. 

Pada  Mei 2024 saya kembali rumah sakit untuk USG. Ternyata setiap bulan, ukuran kista akan terus bertambah. Saya disarankan untuk segera operasi dan diinjeksi. Waktu disuruh injeksi, barulah saya memberanikan diri untuk memberitahukan ibu, ayah dan juga kaka yang nomor 3, karena ada biaya yang harus dibayar. Ayah saya memberikan saya uang lalu mereka menanyakan kondisi saya. Saya hanya menjelaskan secara umum. Saya bilang kalau saya baik-baik dan bisa mengurus ini sendiri.

Setelah diinjeksi, saya diminta kembali pada 15 Mei, tepat ulang tahun saya yang ke-21 tahun. Saya Kembali ke dokter dan kami berbicara terkait hal-hal apa yang harus saya siapkan untuk operasi, juga resiko apa yang akan saya dapat. Dokter menyampaikan dampak buruk dari kista endometriosis dan biaya operasi sebesar Rp15 Juta. Saya hanya diam dengan tegar mendengar setiap hal yang dokter sampaikan. Ketika sudah selesai dari dokter, saya mematikan hp saya dan saya pulang ke rumah. 

Hari ulang tahun menjadi tidak penting bagi saya. Baru saja masuk kamar dan ingin menangis , beberapa teman kuliah saya datang  membawa kue ulangtahun.  Sederhana, tapi membuat saya merasa bahwa saya layak untuk hidup. Untuk sementara, saya dapat melupakan apa yang dokter katakan. Saya menikmati perayaan hari ulangtahun hingga pergantian hari. 

Saya tidak kembali ke dokter itu lagi karena saya berpikir bahwa saya belum punya cukup uang. Jika saya menyampaikan hal ini kepada orangtua atau keluarga, ini tentunya akan menjadi beban pikiran buat mereka. Saya berusaha sendiri untuk menghasilkan uang. Saat mereka bertanya soal  perkembangan penyakit saya, saya akan menjawab bahwa saya baik-baik saja, meski sebenarnya saya masih merasa sakit. Saya terus menahan rasa sakit setiap kali menstruasi, sambil mencari jalan keluar. Saya hanya minum obat untuk mengurangi rasa sakit.

Sepanjang tahun 2024, rasa sakit akibat kista endometriosis yang membuat saya stres, tapi tak saya ceritakan pada siapapun. Anggapan keluarga sebagai manusia lemah yang fisiknya tidak kuat membuat saya menyimpan semua rasa sakit sendiri. Saya hanya memberitahukan hal ini ke beberapa orang sebagai bentuk menghargai keberadaan mereka di sekitar, walau tidak secara detail saya ceritakan. Saya takut ini juga membebani mereka.

Pada Agustus 2024 saya diterima untuk magang  selama tiga bulan di salah satu instansi. Saya magang dari Agustus hingga November. Saya diberi gaji setiap bulan sebesar Rp.2.300.000. Total saya menerima Rp 6,9 juta. Namun itu tidak cukup. Untuk operasi, saya masih kekurangan uang sebesar Rp 8,1 juta. Saya tidak putus asa. 

Saya selalu berdoa kepada Tuhan untuk selalu memampukan saya untuk melewati keadaan ini. Waktu saya sedang pusing dengan biaya operasi, saya masih harus membayar uang kuliah. Meski saya mendapatkan beasiswa sejak saya masuk kuliah tahun 2021, namun beasiswa ini tidak berjalan baik. Pembayaran beasiswa selalu terlambat. Waktu pembayaran SPP tahun akademik Januari 2024, saya meminta bantu ayah saya untuk membayarkan sebesar Rp 4 juta lebih dan berjanji akan mengembalikan ketika uang SPP cair.

Saya kemudian pergi ke dinas Pendidikan Provinsi Papua untuk mengurus pencarian beasiswa, tapi proses ya sangat lama. Sedangkan saya harus membayar uang ujian dan lain sebagainya. Akhirnya, uang magang yang saya simpan untuk uang operasi akhirnya harus gunakan lagi untuk bayar sisa uang kuliah. Saya hanya bisa berdoa kepada Tuhan, dan mengaku bahwa saya sangat putus asa dan lelah. Saya melanjutkan hari-hari saya seperti biasa dengan menahan rasa sakit dan tetap melanjutkan kuliah. 

Pada Desember 2024, saya ditelpon dari pemberi beasiswa dan diminta untuk melengkapi data. Awal Januari 2025, saya mulai pusing lagi dengan pembayaran daftar ulang kuliah dan biaya operasi saya. Saya terus berdoa ke Tuhan. Hingga suatu sore di bulan Januari 2025, saya sedang berbaring di kamar sambil berpikir bagaimana saya bisa menyelesaikan masalah ini, tidak mungkin mau membebankan orangtua.

Waktu memikirkan hal itu, saya menerima pesan Whatsapp dari salah satu teman yang juga penerima beasiswa ini. Ia mengatakan bahwa ia baru saja menerima penggantian biaya pendidikannya. Ia menyuruh saya untuk mengecek rekening bank. “Saya malas berharap, saya sudah mengurus hal ini dari akhir tahun 2023 tapi saya tidak menerimanya, jadi yah sudahlah!,” kemudian saya mematikan telepon. 

Meski tak berharap banyak, saya tetap mencoba aplikasi digital bank penyalur beasiswa saya. Saya terkejut saat melihat transferan dari dinas sebagai penggantian uang pendidikan selama  2 semester. Jumlahnya Rp 30 juta. Saya menangis dan langsung berdoa kepada Tuhan.  Selesai berdoa, saya langsung menyusun penggunaan uang agar semua kebutuhan terpenuhi, mulai dari pembayaran operasi, uang kuliah,  dan kebutuhan lain.

Dengan segera, saya menyelesaikan urusan kampus. Setelahnya saya langsung kembali kedokter untuk melanjutkan operasi. Saya akhirnya melakukan operasi pada 22 Januari 2025. 

***

Dari seluruh pengalaman saya ini, saya ingin menyampaikan bahwa betapa penting peran orang tua dalam membentuk anak dan menentukan kesehatan fisik juga mental anak. 

Untuk siapapun yang membaca tulisan ini, jika kamu pernah atau sedang berada dalam keadaan yang sama, saya berharap kamu dapat memaafkan masa lalumu yang membuatmu tumbuh menjadi pribadi yang mengalami banyak kesulitan. Semoga kami bisa berani mengambil langkah awal dengan memaafkan segala hal yang membuatmu dirimu terluka. Memang tidak mudah. Saya bisa melewatinya karena kehendak Tuhan. Ketika punya masalah lalu saya lebih memilih untuk melupakan masalahmu dengan melakukan hal-hal negatif, yang saya dapat hanya kehancuran. Ketika saya memilih dekat dengan Tuhan, saya dimampukan untuk melewati masalah tersebut. Memang masalahnya tidak langsung hilang namun kamu di mampukan untuk melewatinya. Saya pernah membaca kata-kata yang lewat di fyp Tiktok saya seperti ini “Iman yang kuat adalah iman yang mampu memindahkan gunung, tapi iman yang benar adalah iman yang tetap percaya walaupun gunung belum pindah.” Kata-kata itu yang selalu saya pegang teguh agar iman saya kepada Tuhan Tidak hilang. Bersandar pada Tuhan, menjadikan hidup saya lebih berarti.

Semoga tulisan saya dapat membantu teman-teman lain untuk menemukan jalan keluar dari masa lalu yang buruk.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tentang Aneta

Aneta lahir sebagai respons atas kekosongan itu. Kami adalah media alternatif yang hadir untuk mendokumentasikan, menyuarakan, dan memperjuangkan pengalaman serta pengetahuan perempuan Papua dan kelompok marjinal. 

Kontak: +62 …

Visi

“Aneta menjadi ruang berpikir, berlawan, dan bertutur bagi perempuan dan kelompok marjinal untuk masa depan yang adil, setara, dan tanpa diskriminasi.”

Aneta @2025