Mengapa Aneta Hadir?

Info Kontak

  • Home  
  • Menyelamatkan Cendrawasih, Menyelamatkan Martabat Papua
- Lingkungan & Hak Adat

Menyelamatkan Cendrawasih, Menyelamatkan Martabat Papua

Oleh: Risna Hasanudin Saya ingin memberi apresiasi yang tinggi kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua atas langkah cepat mereka menindaklanjuti temuan aktivitas perdagangan satwa endemik yang masih hidup di beberapa wilayah Papua. Dalam operasi terakhir, petugas menemukan lebih dari 60 ekor burung hidup yang hendak diperjualbelikan, serta 54 ekor lainnya yang telah mati, […]

Oleh: Risna Hasanudin

Saya ingin memberi apresiasi yang tinggi kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua atas langkah cepat mereka menindaklanjuti temuan aktivitas perdagangan satwa endemik yang masih hidup di beberapa wilayah Papua. Dalam operasi terakhir, petugas menemukan lebih dari 60 ekor burung hidup yang hendak diperjualbelikan, serta 54 ekor lainnya yang telah mati, diawetkan, dan dijadikan mahkota hias berbahan dasar bulu Cendrawasih. Semua barang bukti itu diambil dari sejumlah pedagang suvenir di wilayah pelabuhan dan pasar.

Namun di balik keberhasilan penindakan ini, muncul pertanyaan mendasar yang perlu dijawab dengan hati-hati. Bagaimana prosedur hukum dan etika dalam penyitaan serta pemusnahan barang bukti, yang terkait dengan satwa dilindungi ini. Terutama dalam kasus pembakaran mahkota Cendrawasih yang sempat menjadi perbincangan di kalangan masyarakat dan pegiat lingkungan. Apakah tindakan tersebut sudah melewati mekanisme yang diatur dalam peraturan konservasi dan hukum acara pidana lingkungan hidup atau belum. 

Menurut ketentuan yang berlaku, setiap barang sitaan berupa satwa atau bagian tubuhnya yang diawetkan, seharusnya terlebih dahulu melalui proses penilaian dan identifikasi ilmiah. Ini mencakup pengujian jenis satwa, nilai konservasi, serta potensi pemanfaatannya untuk kepentingan edukasi dan penelitian. Hanya melalui mekanisme ini, negara dapat memastikan bahwa tindakan hukum tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga melindungi nilai pengetahuan dan fungsi ekologis dari satwa tersebut, juga nilai kebudayaan yang melekat di masyarakat adat. 

Kedua, keputusan untuk memusnahkan barang bukti seharusnya dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, pembakaran atau pemusnahan tidak dapat dilakukan sepihak tanpa proses hukum yang sah. Dalam konteks konservasi, pemanfaatan barang bukti juga memiliki potensi besar—misalnya untuk museum pendidikan, laboratorium penelitian, atau pameran kesadaran publik tentang satwa dilindungi.

BKSDA Papua dan seluruh instansi konservasi di Tanah Papua perlu memperhatikan aspek ini secara serius. Perlindungan satwa endemik tidak cukup hanya dengan patroli dan penindakan, tetapi harus diikuti dengan tata kelola yang transparan, berbasis ilmu pengetahuan, dan menghormati sistem hukum, juga Ketegasan perlu diimbangi dengan kebijaksanaan. 

Selain aspek hukum, ada isu yang jauh lebih mendasar: tempat tinggal satwa-satwa endemik ini terus menyusut. Papua dikenal sebagai “tanah terakhir” bagi keanekaragaman hayati Indonesia. Namun ironisnya, rumah bagi burung Cendrawasih, Kakatua Jambul Kuning, Kasuari, Nuri, Mambruk, hingga rusa dan kanguru tanah Papua kini rusak oleh berbagai bentuk ekspansi industri ekstraktif—mulai dari tambang, kayu, sawit, hingga proyek-proyek skala besar yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).

Kerusakan habitat satwa endemik di Papua bukanlah isu baru. Namun setiap tahun, skalanya semakin masif. Dulu, di kawasan Maruni, Manokwari, yang kini menjadi wilayah perusahaan semen Conch, orang masih dapat melihat kawanan Kakatua Jambul Kuning dan Nuri berterbangan bebas di antara pepohonan. Ketika kita melintas ke arah Warmare atau SP, burung-burung itu tampak menari di udara, menjadi simbol kebebasan hutan tropis Papua. Kini, pemandangan itu hilang. Kawasan hutan yang menjadi rumah mereka telah berganti menjadi padang industri, perusahaan semen. 

Burung-burung itu terpaksa bermigrasi jauh, mungkin hingga melintasi batas negara. Dan di situlah letak kehilangan kita yang sebenarnya. ketika satwa kehilangan rumah, manusia kehilangan keseimbangan ekologis dan spiritualitasnya.

Jejak yang Tertinggal di Kobrey

Saya masih mengingat betul bagaimana di wilayah Ransiki, Manokwari Selatan, khususnya di daerah Kobrey hingga Bandara Lama, dulunya menjadi habitat berbagai jenis burung Nuri. Pada 2014 hingga 2016, saya sempat diajak oleh beberapa adik-adik di Kobrey untuk menyaksikan musim ketika burung-burung itu keluar beramai-ramai. Pemandangan itu bukan sekadar keindahan alam — melainkan bagian dari kebudayaan ekologis masyarakat setempat. Burung-burung itu menandai waktu, musim, dan harmoni antara manusia dan hutan.

Kini, saya tidak tahu apakah pemandangan itu masih bisa ditemukan. Dengan jutaan hektar hutan di Tanah Papua yang kini dijadikan proyek industri besar, banyak diantaranya melalui cara-cara intimidatif dan tanpa konsultasi yang adil kepada masyarakat adat, kita sedang menyaksikan hilangnya rumah besar dari kehidupan itu sendiri.

Konservasi Harus Berakar di Tanah

BKSDA dan lembaga pemerintah lainnya tentu memiliki tanggung jawab besar dalam penegakan hukum konservasi. Namun keberhasilan konservasi tidak akan bermakna tanpa keterlibatan aktif masyarakat adat Papua — pemilik tanah, penjaga hutan, dan saksi hidup dari transformasi ekologis di tanahnya sendiri.

Peraturan yang jelas memang penting. Tetapi aturan tanpa akar sosial hanya akan melahirkan jarak. Banyak masyarakat lokal sebenarnya memiliki tradisi adat yang ketat dalam menjaga satwa dan hutan.  Dalam beberapa suku, Cendrawasih dianggap burung sakral, tidak boleh diburu sembarangan, bahkan untuk membunuh, masyarakat adat melakukan dengan cara yang sangat spiritual. Nilai-nilai semacam ini perlu diintegrasikan ke dalam kebijakan konservasi modern.

Kita juga membutuhkan pendekatan yang lebih manusiawi dalam menindak perdagangan satwa.Negara secara berani harus memulai itu dengan pendekatan yang lebih adil, dan mengedepankan sisi pengetahuan yang memadai. Sebagian besar pedagang suvenir bukanlah pelaku utama perburuan, melainkan bagian dari rantai ekonomi kecil yang lahir dari kemiskinan struktural dan keterbatasan akses kerja. Memberikan edukasi, membuka lapangan usaha alternatif, serta melibatkan mereka dalam program ekowisata atau konservasi berbasis masyarakat akan jauh lebih efektif daripada sekadar penindakan hukum yang represif.

Menyelamatkan Ekologi, Menjaga Martabat

Papua bukan hanya soal hutan, tetapi juga tentang martabat. Martabat manusia dan martabat alam tidak dapat dipisahkan. Ketika Cendrawasih— burung yang menjadi lambang keindahan dan kebanggaan Papua— diperdagangkan di pasar atau dijadikan mahkota souvenir, itu bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan cerminan betapa kita telah kehilangan rasa hormat terhadap ciptaan yang semestinya kita jaga.

Upaya BKSDA dan pihak berwenang harus diapresiasi, tetapi ke depan, pendekatan konservasi di Papua perlu ditransformasikan menjadi sistem yang lebih adil, berkelanjutan, dan partisipatif. Setiap tindakan — termasuk penyitaan dan pemusnahan barang bukti — harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek hukum, ilmiah, dan nilai-nilai kemanusiaan serta kearifan lokal.

Kita tidak sedang menyelamatkan burung semata, tetapi menyelamatkan relasi antara manusia dan tanah yang memberi kehidupan. Cendrawasih bukan hanya simbol keindahan alam Papua, tetapi juga cermin dari bagaimana kita memperlakukan masa depan. Jika burung itu hilang, mungkin yang sebenarnya hilang adalah bagian dari jiwa kita sendiri.

Tentang Aneta

Aneta lahir sebagai respons atas kekosongan itu. Kami adalah media alternatif yang hadir untuk mendokumentasikan, menyuarakan, dan memperjuangkan pengalaman serta pengetahuan perempuan Papua dan kelompok marjinal. 

Kontak: +62 …

Visi

“Aneta menjadi ruang berpikir, berlawan, dan bertutur bagi perempuan dan kelompok marjinal untuk masa depan yang adil, setara, dan tanpa diskriminasi.”

Aneta @2025