
Oleh : Luis
Berbicara tentang penindasan sesungguhnya berarti berbicara tentang kehidupan kita sehari-hari. Selama penindasan masih ada, hidup kita tidak pernah benar-benar bebas. Karena itu, jika anak muda Papua memilih diam terhadap kenyataan pahit ini, maka sesungguhnya kita sedang membiarkan diri hidup dalam kematian yang perlahan, kematian karena ketidakadilan.
Hari ini, penindasan bukanlah cerita jauh, tetapi kenyataan yang dialami langsung oleh anak muda Papua. Bentuknya beragam: ada yang terlihat jelas melalui tindakan kekerasan fisik, ada pula yang hadir lewat perlakuan yang merendahkan martabat dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Penindasan tidak selalu menampakkan diri dengan wajah yang kasar; sering kali ia bekerja dengan cara yang halus, menyusup dalam kehidupan sehari-hari, namun tetap menyakitkan. Di balik semua itu, watak kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, dan feodalisme masih terus mengakar, ditanamkan secara paksa dan ilegal, sehingga membentuk pola penindasan yang menjerat kehidupan kita dari berbagai sisi.
Realitas hari ini memperlihatkan bahwa penindasan tidak semata-mata datang dari luar, tetapi juga dapat muncul dari dalam, antar sesama orang Papua sendiri. Situasi ini menjadikan penindasan semakin kompleks karena ia hadir bukan hanya sebagai tekanan eksternal, melainkan juga sebagai luka yang ditimbulkan oleh sesama. Dalam lingkaran penindasan ini, perempuan menempati posisi yang paling rentan. Mereka kerap menjadi sasaran ganda: tertindas oleh sistem yang mengekang sekaligus mengalami diskriminasi di dalam komunitasnya sendiri.
Penindasan terhadap perempuan terlihat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Suara mereka sering dibungkam dalam forum-forum terbuka, kesempatan untuk memimpin bangsa maupun komunitas dipersempit, dan hak berbicara tidak diakui secara setara dengan laki-laki. Padahal, perempuan memiliki hak yang sama untuk bersuara, mengambil keputusan, dan berperan dalam ruang-ruang penting. Hak itu tidak hanya berlaku dalam lingkup keluarga, tetapi juga dalam komunitas yang lebih luas, bahkan dalam kepemimpinan bangsa. Dengan menutup ruang tersebut, masyarakat bukan hanya mengekang potensi perempuan, tetapi juga kehilangan kekuatan besar yang seharusnya dapat membangun dan memperkaya kehidupan bersama.
Dalam konteks Papua hari ini, penindasan juga tampak dalam relasi antar sesama orang Papua sendiri, mulai dari perebutan tanah hingga pengabaian hak-hak orang lain. Situasi ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kolonialisme Indonesia yang secara halus menanamkan ideologi melemahkan generasi muda Papua. Ideologi itu hadir lewat sistem pendidikan yang tidak jelas arahnya, hingga produk-produk konsumsi yang sengaja dipasarkan untuk merusak pola pikir dan karakter, salah satunya melalui minuman beralkohol. Cara-cara ini menjadi strategi yang perlahan tapi pasti mengikis daya kritis dan semangat membangun generasi muda Papua.
Jika anak muda Papua memilih diam, maka penindasan akan terus berlangsung tanpa henti. Kesadaran akan akar masalah sebenarnya sudah ada, tetapi tanpa keberanian untuk bersuara, penindasan itu akan terus menumpuk di pundak kita. Revolusi tidak bisa hanya digantungkan pada para pejuang lama; kini saatnya generasi muda mengambil peran utama. Anak muda Papua harus berani bangkit, bergerak, dan menentukan jalannya sendiri. Seperti pepatah, “Jangan menunggu buah apel jatuh karena matang, tetapi buatlah ia jatuh dengan usahamu sendiri.”
Penindasan terhadap Perempuan
Perempuan hingga hari ini masih terus mengalami berbagai bentuk penindasan, baik di dalam lingkungan keluarga maupun di ruang publik, disadari ataupun tidak. Situasi ini begitu masif dan beragam, sehingga sulit dipisahkan dari realitas hidup sehari-hari.
Untuk menghapus penindasan tersebut, perempuan harus melahirkan revolusi bagi dirinya sendiri—dengan terlebih dahulu memahami situasi yang dihadapinya, lalu membangun organisasi yang progresif agar dapat berdiri sejajar dengan laki-laki serta melawan watak kolonialisme yang menindas.
Perempuan memiliki peran penting dalam memimpin dan membangun, namun sering ditekan oleh sistem sosial yang melanggengkan perbudakan. Konsep gender kerap dipelintir menjadi alat untuk membedakan dan merendahkan perempuan. Dalam praktiknya, gender digunakan untuk menjustifikasi dominasi laki-laki dan mengekang peran perempuan, baik secara sadar maupun tidak, dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut Wilson, perempuan yang sadar akan penindasan yang dialaminya perlu membangun organisasi progresif di tengah kalangan mereka sendiri. Hal ini penting karena pengalaman penindasan yang dirasakan seorang perempuan pada dasarnya juga dialami oleh perempuan lain. Dari kesadaran kolektif inilah dapat lahir sebuah gerakan besar—gerakan yang tidak hanya menuntut kesetaraan, tetapi juga memperjuangkan pembebasan bagi seluruh perempuan.

