Oleh : Nare Rukab

Franz Fanon Dan Cerita Orang Kulit Hitam
Kebudayaan adalah suatu fenomena universal. Setiap Masyarakat bangsa di dunia memiliki kebudayaan, meskipun bentuk dan coraknya berbeda-beda antara satu masyarakat suku-bangsa dengan masyarakat suku-bangsa lainnya. Kebudayaan secara jelas menampakkan kesamaan kodrat manusia dari berbagai suku bangsa dan ras. Sebagian cultural being, manusia adalah pencipta kebudayaan dan sebagai ciptaan manusia, kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia di dunia. Disamping itu kebudayaan dapat dilihat dari segi orang yang mendukung dan cara la mendukung kebudayaan.
Sebagai produk manusia, kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia sebagai makhluk historis. Sebagai ekspresi eksistensi manusia, kebudayaan pun berwujud dengan corak dasar keberadaan manusia. Manusia dan kebudayaan memang saling mengendalikan, manusia mengendalikan kebudayaan, begitu pula sebaliknya kebudayaan mengendalikan manusia. Tanpa manusia tak akan ada kebudayaan dan tanpa kebudayaan, manusia tak dapat melangsungkan hidupnya secara manusiawi.
Buku “Franz Fanon : Kebudayaan dan Kekuasaan” adalah buku yang ditulis oleh Muhammad Teufiqurrohman. Dalam buku ini dituliskan untuk menyoroti pemikiran Franz Fanon. Pada satu bagian dibuku ini menuliskan tentang manusia negro yang berhadapan dengan problem Bahasa khususnya Bahasa Perancis.
Fanon menunjukkan bagaimana manusia negro itu menggunakan Bahasa Perancis dan memperlakukan Bahasa Perancis sebagai bahasa asli dan bahasa sehari-hari mereka dalam melakukan berbagai aktivitas kolektif. Hal ini membuat saya merasa tertarik untuk mengulas kembali dan memulai dari bukunya Franz Fanon dengan mengkaitkannya dengan salah satu kisah pemuda desa.
Kisah ini dimulai oleh salah seorang pemuda Bernama Marko. Marko merupakan pemuda berkulit hitam (negro) yang telah beberapa bulan tinggal di Perancis. Suatu hari Marko pulang ke kampung halamannya.
Sesampainya dikampung, Marko selalu berbicara Bahasa Perancis sebagai bahasa sehari-hari pada warga desa. Marko hampir tak paham bahasaIbu atau Bahasa asli Kampung halamannya, bahkan benda-benda yang disekitarnya pun tak mampu ia ucapkan karena banyak kata yang telah dilupanya.
Ketika Marko melihat alat-alat yang digunakan untuk Bertani, ia bertanya tentang fungsi dari alat yang dilihatnya. Pertanyaan itu terasa menjengkelkan bagi sang Bapak. Ia menjatuhkan benda itu ke kaki Marko, membuat Marko merasa kesakitan dan menjerit menyebutkan nama benda yang menimpahnya. Saya menanggap ini menjadi terapi yang jitu untuk memulihkan ingatan Marko.
Anak kulit hitam ini seperti menunjukkan dua sisi dari dirinya, yaitu rasa rendah diri ketika menggunakan bahasa Ibu/bahasa aslinya dan satu sisi ia menunjukkan rasa lebih percaya diri ketika menggunakan bahasa asing. Ini menunjukkan bahwa ia bisa merasa bahasa aslinya jauh lebih rendah (Ibib; hlm 12). Maka anak kulit hitam itu terdera apa yang disebut sebagai “Amnesia budaya” dengan secara sadar berusaha melupakan Bahasa dan kebudayaannya sendiri. Ini menjadi bagian dari menghapus identitasnya sebagai manusia negro, seolah dengan menghilangkan segala identitas yang menempel padanya sebagai manusia negro, seperti Bahasa daerah, maka ia telah dengan sendirinya menjadi manusia lain, manusia baru, yaitu manusia kulit putih.
Dalam pandangan kolonialisme yang sangat rasis dalam memperlakukan orang kulit hitam, orang kulit putih selalu menanggap orang kulit hitam lebih rendah karena warna kulit mereka. Warna hitam membuat orang Negro menerima banyak stigma dan diskriminasi rasial.
Ketidaksetaraan dan ketimpangan ini membuat orang kulit hitam merasa inferior, lalu merasa perlu menjadi sama seperti orang kulit putih agar tidak menerima diskriminasi. Bahasa, kebudayaan dan identitas diri pun ditinggalkan dan dihilangkan. Situasi ini yang dihadapi oleh orang kulit hitam di Aljazair.
Orang kulit hitam menganggap apa yang dia punya itu kuno, primitive, bodoh dan lain sebagainya. Ini karena ada kontruksi sosial yang palsu dan rasis, yang di bangun oleh orang kulit putih atau penjajah. Penjajah dan orang-orang kulit putih selalu merasa bahwa merekalah yang memiliki peradaban dan menyebarkannya, padahal pandangan Sejarah manusia seperti ini adalah kekeliruan yang dibangun untuk meligitimasi penjajahan dan penaklukan terhadap orang kulit hitam.
Penjajahan dan Rasisme
Papua adalah salah satu daerah di ujung timur Indonesia. Papua menjadi wilayah jajahan (koloni) Indonesia dari semenjak tahun 1960 sampai hari ini. Menurut Indonesia, Papua di masukan melalui integrasi, namun menurut orang papua, Papua di masukan melalui proses yang melanggar hukum (aneksasi) secara paksa.
Semenjak Papua dimasukan ke dalam bingkar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Tahun 1 Mei 1963, ada banyak invansi-invasi militer dan invansi budaya yang dilakukan secara paksa dan berdarah-darah. Contohnya seperti Operasi Koteka, Dimana Operasi Koteka merupakan operasi yang pernah terjadi di Wamena, Papua. Operasi itu berjalan dengan cara invansi militer, namun terjadi praktek invansi budaya terjadi Ketika orang Papua dipaksa membuka koteka, lalu menggunakan baju celana. Operasi Koteka menunjukkan bagaimana militer terlibat dalam Upaya menghilangkan identitas kebudayaan orang Papua.
Dalam operasi itu budaya orang Papua dibumi hanguskan, semua aksesoris kebudayaan di hilangkan dengan primitif, bodoh, dan terbelakang. Sama hal dengan apa yang terjadi di Aljasair oleh Penjajah Perancis, dimana Perancis menganggap bahwa apa yang di miliki oleh orang Aljasair itu terbelakang, kampungan, dan primitif sehingga orang prancis menyebarkan budaya mereka, lalu menghilangkan Budaya Pribumi orang Aljasair dan cara kekerasan bahkan dengan serangan pisikologi.
Saya melihat sebuah fenomena dimana kebudayaan orang Papua mengalami degradasi. Kebudayaan orang Papua mulai hilang dan orang Papua menganggap bahwa apa yang dimiliki oleh mereka itu tidak baik (bodoh, primitive, dan terbelakang) sehingga mereka mulai memusnakan dengan berbagai cara seperti bakar atau justru tidak peduli dan tidak mau menggunakannya.
Kedatangan misionaris juga sesungguhnya membawah dampak yang buruk terhadap eksistensi kebudayaan orang Papua. Di wilayah Pegunungan Papua, yang dihuni oleh beberapa suku besar diantaranya Suku Hubula, Yali dan Lani. Semenjak Misionaris menginjakkan kaki di beberapa suku diatas, misionaris mulai menjelajahinya dari satu kampung ke kampung yang lain. Dengan menyebarkan agama Kristen Protestan dan Katolik. Banyak dari Para Misionaris yang membakar kebudayaan orang Papua karena dianggap kafir, sehingga orang Papua mulai membakarnya, meskipun beberapa daerah dan suku masih memegang teguh kebudayaannya, misalnya orang Hubula di Wamena, Sekali lagi situasi ini sama seperti apa yang terjadi di Aljasair dalam bukunya Franz Fanon.
Identitas Budaya dan Eksistensinya
Dalam situasi penjajahan, orang Papua dibuat memiliki ketergantungan pada penjajah dan juga mengalami degradasi kebudayaan.
Orang Papua mulai menganggap bahwa apa yang dibawah Indonesia atau misionaris itu jadi lebih bagus, lebih baik dan lebih benar disbanding apa yang dimiliki oleh orang Papua. Lalu mengikuti kebudayaan orang Indonesia dan cara hidup Misionaris, yang artinya mereka secara perlahan-lahan melepaskan kebudayaannya.Kita tidak bisa lari dari dari kondisi objektif dibeberapa daerah Papua.
Kita kehilangan kebudayaan karena ajaran-ajaran baru yang mempengaruhi kepercayaan diri suku-suku di Papua untuk menjadi diri mereka.Hilangnya kebudayan juga dapat dilihat dari perubahan norma-norma masyarakat, kehidupan kolektif yang bertransformasi perlahan menjadi kehidupan invidualis, dst. Hal lainnya yang berkaitan dengan eksistensi Orang Papua saat Orang papua terancam atas kehidupnya, norma norma budaya yang di larang itu sudah mulai di langgar oleh orang papua sehingga eksistensi kehidupannya terancam. Contohnya seperti norma budaya yang di larang di Papua Pegunungan adalah kawin antara marga sama. Itu di larang, namun belakangan ini orang mulai melanggarnya. Kawin marga sama, misalnya Kogoya dengan Kogoya secara aturan itu tidak bisa, namun itu sedang terjadi. Ada kepercayaan yang melarang perkawinan satu marga karena akan menimbulkan berbagai dampak diantaranya; kelaparan dan kesuburan orang itu sendiri untuk memiliki keturunan.
Orang Papua yang kehilangan identitasnya menciptakan ketergantungan dan itu mulai terlihat Ketika orang Papua yang dulu hidup dengan berkebun akhirnya tidak lagi berkebun, tokok sagu, mencari ikan. Mereka lebih mengharapkan uang yang diberikan oleh negara, mengharapkan bantuan dan hal-hal lainnya.
Saran
Penyebaran budaya barat selalu digunakan untuk mendukung hegemoni barat. Seharusnya atas dasar persamaan diri sebagai manusia, orang-orang kulit putih bisa menghargai apa yang dimiliki oleh orang kulit hitam.Saat ini degredasi budaya ini sedang terjadi di Papua.
Penghilangan terus terjadi sehingga, perlu ada Pendidikan yang berbasiskan budaya. Lalu mengajarkan berbagai nilai-nilai budaya yang mulai luntur atau hilang agar generasi tidak melupakan kebudayaannya.Pentingnya juga Pendidikan yang di mulai dari keluarga, bapa dan mama mengajarkan anak-anaknya tentang nilai-nilai kebudayaan yang semakin hilang ini, agar dari keluarga mulai melakukan perubahan sampai pada komunitasnya. Walaupun banyak hantaman globalisasi yang terus menggerogoti, namun metode semacam ini merupakan jalan satu-satunya mempertahankan atau mengembalikan kebudayaan yang semakin hilang.
Jika upaya ini tidak dilakukan dan kebudayaan tidak dilestarikan, maka orang Papua mengalami degradasi budaya dan dapat berdampak pada ketergantungan hidup dan memudahkan negara untuk melakukan kontrol sehingga orang Papua akan terus jatuh dalam lumpur penindasan.
Referensi
- Resist book. Muhammad taufiqurrohman. Frantz Fanon – Kebudayaan dan Kekuasaan