
Oleh : Musel Safkaur
Kristen R Ghodsee, Etnografer Amerika dan Profesor Studi Rusia Eropa Timur dari Universitas Pennsylvania—meneliti soal tingkat kepuasan seks perempuan dalam negara dengan basis ekonomi yang berbeda dalam bukunya “Mengapa Perempuan Bercinta Lebih Baik di Bawah Sosialisme” yang terbit pada tahun 2018. Dalam buku itu, Ia membandingkan tingkat kepuasan seks di negara dengan basis ekonomi kapitalistik dan basis ekonomi sosialis. Hasilnya, keduanya tidak setara.
Perempuan di negara-negera sosialis melaporkan tingkat kepuasan seks yang tinggi, sementara di negara kapitalis sangat rendah.
Di negara-negara sosialis seperti Jerman Timur, Hungaria, Cekoslovakia, dst—melaporkan tingkat kepuasan mencapai 75% di mana mayoritas perempuan mencapai orgasme saat berhubungan sex; sementara di negara-negara kapitalis seperti Jerman Barat, dst—melaporkan tingkat kepuasan hanya mencapai 46% dan rata-rata perempuan tidak mencapai orgasme alias tidak puas. Data ini kemudian dikonfirmasi oleh para seksolog yg meneliti soal seks manusia, bahwa rata-rata perempuan lebih puas bercinta (berhubungan seks) di negara-negara sosialis dibanding negara-negara kapitalis.
Tahun 1988, Kurt Starke dan Ulrich Clement melaporkan studi komparatif mereka terkait pengalaman seks di Jerman Timur (Sosialis) dan Jerman Barat (Kapitalis). Hasilnya, perempuan-perempuan di Jerman Timur memiliki pengalaman seks yang lebih memuaskan ketimbang di Jerman Barat. Bahkan, survei lain melaporkan bahwa 73% perempuan Jerman Timur dan 74% laki-laki Jerman Timur ingin menikah. Sebaliknya 71% perempuan di Jerman Barat menginginkan untuk menikah, tetapi hanya 57% laki-laki Jerman Barat yang ingin menikah.
Selanjutnya, survei juga menanyakan tingkat kenikmatan seksual saat berhubungan sex. 75% perempuan di Jerman Timur mengatakan iya, sementara di Jerman Barat hanya 46%. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah mereka merasa bahagia setelah berhubungan sex? 82% perempuan di Jerman Timur menjawab iya, sementara di Jerman Barat hanya 52%. Data ini menunjukkan bahwa hanya 18% dari perempuan Jerman Timur yang merasa “tidak bahagia” pasca berhubungan seks, sementara hampir separuh dari perempuan Jerman Barat semuanya merasa “tidak bahagia”.
Kita bertanya: mengapa demikian? Mengapa perempuan di negara-negara sosialis dan kapitalis, bahkah kedua Jerman yang memiliki asal-usul yang sama, justru memiliki pengalaman seksual yang berbeda? Jawabannya tentu bukan pada penjelasan biologis seperti ukuran penis atau vagina, sebab keduanya sangat relatif. Ukuran, posisi, jangka waktu, dst—memainkan peran penting, tetapi ini sangatlah relatif karena tergantung penuh dengan ‘preferensi’ individu masing-masing, yang tentu saja pasti sangat bervariasi.
Aktivitas seks bukanlah semata-mata penis bertemu vagina, sehingga dapat direduksi menjadi semata-mata kenikmatan hedonistis. Tetapi di atas itu adalah saling pengakuan, cinta, kasih sayang, dan penghormatan, yaitu totalitas kedua insan yang saling bertemu untuk berpadu kasih dan kebahagiaan. Sehingga alih-alih seks hanyalah urusan dua kelamin, justru sebaliknya, ia adalah puncak dari pengalaman tiap-tiap individu itu sendiri.
Ini berarti keseluruhan bangunan masyarakat dapat mempengaruhi pengalaman tiap-tiap individu bahkan dalam pengalaman seksual itu sendiri. Kristen R Ghodsee mengutip laporan Kurt Starke dan Walter Friedrich (1984) tentang cinta dan seksualitas di kalangan rakyat Jerman Timur (sosialis) di bawah usia 30 tahun, melaporkan bahwa: dua pertiga perempuan muda melaporkan sendiri bahwa mereka hampir selalu mencapai orgasme dengan tambahan 18% mengatakan bahwa mereka sangat sering mencapai orgasme.
Bahkan kedua peniliti tersebut mengklaim bahwa tingkatan-tingkatan kepuasan personal di dalam kamar tidur ini dihasilkan oleh kehidupan sosialis: seperti rasa keamanan sosial, pendidikan yang setara dan tanggung jawab-tanggung jawab profesional, hak dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam menentukan kehidupan masyarakat.
Di dalam sosialisme perempuan didorong sepenuhnya untuk berdaulat secara ekonomi, dimana akses kepada pekerjaan yang layak dengan upah yang tinggi. Beban kerja domestik dihapuskan dengan pendirian dapur-dapur umum, tempat penitipan anak, loundry umum, dst. Pendidikan gratis untuk semua kalangan, hak cuti haid dan melahirkan dengan upah penuh, pendidikan seks yang baik, oborsi legal dan gratis, dan tentunya, semua beban moral lama yang merantai perempuan dalam objektifikasi seksual sebagai alat pemuas nafsu dihapuskan dan diganti dengan pengakuan sebagai manusia yang setara.
Dalam kondisi ini perempuan mendapat penghormatan dan untuk pertama kalinya memperoleh pengalaman yang berbeda setelah diperbudak selama berabad-abad sejak kemunculan masyarakat kelas pertama kali ribuan tahun yang lampau. Apa jadinya ketika perempuan bercinta dalam kondisi seperti ini? Hanya cinta, kasih, gairah, dan penghormatan di atas kondisi ekonomi, batiniah, dan psikologi yang merdeka atau bebas dari perbudakkan apapun. Inilah alasan mengapa perempuan-perempuan di negara-negara sosialis mendapat pengalaman seksual yang berbeda dibanding di negara-negara kapitalis.
Kristen R Ghodsee menulis dalam pengantar bukunya bahwa: yah, apabila kita mengadopsi beberapa gagasan sosialisme maka perempuan akan memiliki kehidupan yang lebih baik, dan tentunya seks yang lebih baik. Ini benar. Sebab kontras dengan sosialisme, kapitalisme justru memiliki pengalaman yang buruk. Ini tentunya berdasar pada sistem kapitalisme yang merantai perempuan dalam ketergantungan ekonomi kepada laki-laki sebagai “kepala rumah tangga”, objektifikasi tubuh perempuan, komodifikasi, serta seluruh prasangka-prasangka seksis dan bigot yang merantai perempuan dalam rantai penindasan yang mengerikan.
Dalam kondisi ini, perempuan dalam negara-negara kapitalis juga melakukan hubungan seks seperti halnya perempuan di negara sosialis, tetapi mereka melakukannya dalam bayang-bayang penindasan, penundukkan, dan bukan sebagai manusia yang merdeka. Bahkan, dalam kapitalisme, “istri yang baik adalah istri yang melayani suami”, tidak peduli anda sedang bergairah atau tidak, suka atau tidak— tugas anda adalah melayani suami. Kenyataan ini menggarisbawahi perbedaan antara sosialisme dan kapitalisme.
Tetapi, apakah perolehan-perolehan dalam rezim sosialis itu merupakan suatu kebetulan belaka? Atau dalam kata lain, itu merupakan kebetulan karena kebaikan hati sang pemimpin negara? Tidak! Kebetulan adalah relatif, sementara sosialisme adalah kepastian. Tidak peduli siapa pun pemimpinnya, kapan pun waktunya, dimana pun penerapannya, sosialisme tetap mensyaratkan pembebasan penuh bagi perempuan. Jika tidak, itu bukanlah sosialisme.
Sosialisme adalah fase transisi dari kapitalisme menuju masyarakat tanpa kelas atau yang dalam terminologi Marxis disebut sebagai komune modern (komunisme). Basis bagi terlaksananya masyarakat tanpa kelas adalah keberlimpahan. Dengan keberlimpahan, semua ketimpangan sosial yang lama akan menguap bersama kemiskinan dan kekurangan. Tiap-tiap orang akan mengambil sesuai kebutuhannya, dan dari setiap orang menurut kemampuannya. Tidak ada lagi yang kekurangan dan yang lain kelebihan, sebab keberlimpahan barang-barang material telah memberi kepada semua orang sumber daya yang sama; dan ketika semua orang berdiri di atas kondisi ekonomi dan sosial yang setara, maka di atas basis apa satu manusia atau kelas dapat menindas yang lain? Tidak ada sama sekali, sehingga kelas-kelas dalam masyarakat pun akan lenyap dengan sendirinya.
Ini bukanlah mimpi kosong Marx saat tidur. Tetapi, kenyataan-kenyataan material epos produksi kapitalisme saat ini telah memberi dasar bagi postulat itu untuk dikembangkan. Bahwa, kemajuan-kemajuan tenaga produktif dalam kapitalisme saat ini telah mampu memberi keberlimpahan yang dibutuhkan bagi terlaksananya sosialisme. Namun hubungan produksi yang masih individualistik telah menghambat kegunaan kemajuan tersebut bagi pemenuhan kebutuhan semua umat manusia. Sehingga perubahahan ke arah sosialisme, pengembangan lebih lanjut tuas-tuas tersebut bagi terlaksananya masyarakat tanpa kelas; bukan hanya mensyaratkan perubahan hubungan kepemilikan dalam corak produksi, tetapi juga, pengerahan dan pengimplementasian semua kemampuan terbaik dari tenaga-tenaga produktif dalam masyarakat.
Ini berarti, pertama, semua orang harus didorong untuk bekerja baik laki-laki maupun perempuan, kecuali anak-anak dan lansia. Kedua, semua orang didorong untuk mengembangkan kemampuan terbaiknya, ini berarti pemisahan kerja mental dan fisik harus dihapuskan. Ketiga, semua rantai lama yang merantai manusia dalam belenggu penindasan harus dihapuskan, termasuk kerja domestik yang selama ini ditanggung oleh perempuan. Tujuan utama dari hal ini adalah: pengerahan dan pembebasan lebih banyak manusia ke dalam kerja produktif sehingga dapat meningkatkan total ekstraksi nilai lebih bagi sistem, yaitu keberlimpahan.
Sehingga alih-alih suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kebaikan hati sang pemimpin atau tidak; pembebasan perempuan dalam sosialisme adalah syarat mutlak perlu dan segera yang harus dilakukan demi kelangsungan sistem itu sendiri. Jika tidak, bukan hanya merugikan perempuan secara khusus, tetapi sistem secara keseluruhan akan runtuh. Inilah mengapa kita lihat dalam sistem-sistem sosialis yang pernah diterapkan oleh manusia, mulai dari Komune Paris 1871, Uni Soviet 1917, hingga “sosialisme-sosialisme negara” yang diterapkan di Jerman Timur, Hungaria, Cekoslowakia, hingga Cuba hari ini mengerahkan lebih banyak perempuan ke dalam dunia kerja dan penciptaan sistem yang lebih baik bagi mereka.
Ini dapat kita lihat misalnya setelah kemenangan Revolusi Sosialis 1917 di Rusia. Di bawah demokrasi buruh dan rakyat, sosialisme yang baru saja lahir dari rahim masyarakat lama justru memperkenalkan serangkaian program dan pencapaian-pencapaian penting bagi emansipasi perempuan. Hingga tahun 1927 saja, lebih dari selusin undang-Undang yang memberi perempuan keadilan legal seperti hak aborsi, perceraian, pendidikan dan seterusnya disahkan. Bahkan Program Partai Komunis tahun 1919 menegaskan bahwa “partai tidak hanya membatasi diri pada keadilan legal bagi perempuan, tetapi juga berjuang untuk membebaskan perempuan dari beban kuno kerja rumah tangga dengan rumah-rumah komunal, tempat makan umum, tempat penitipan anak, dan lain-lain.” [1]
Bahkan secara mengejutkan, dunia digentarkan oleh kosmonot perempuan pertama yang terbang ke luar angkasa pada tahun 1963 adalah perempuan asal Uni Soviet, Valentina Tereslova. Penerbangan ini kemudian melengkapi penerbangan sebelumnnya yang dilakukan oleh Yuri Gagarin (Uni Soviet) tahun 1961 yang menandai perubahan menyeluruh gagasan manusia tentang ruang angkasa yang penuh mistifikasi menjadi dunia sains yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Inilah sosialisme! Sekali lagi, seperti yang dikatakan oleh Kristen R Ghodsee, “jika dilakukan dengan benar, mengarah pada kemandirian ekonomi, kondisi kerja yang lebih baik, keseimbangan kerja/keluarga yang lebih baik dan, ya, seks yang lebih baik [bagi perempuan]”.
Daftar Pustaka
•Demokratik Sosialis Party (DSP) Australia, “Feminisme dan Sosialisme”, Bintang Nusantara, 2015, Hal: 70.
•Kristen R Ghodsee, “Mengapa Perempuan Bercinta Lebih Baik di Bawah Sosialisme” terbitan Jalan Baru Publisher, 2020.
•Sharon Muller, “Penindasan Perempuan dan Alternatif sosialisme”, Arah Juang 2024. Diakses melalui: https://www.arahjuang.com/2024/03/10/penindasan-perempuan-dan-alternatif-sosialisme/ pada Kamis 7 Agustus 2025.
•Sagra, “Harga Sebuah Keintiman dan Pembebasan Perempuan di Bawah Sosialisme”, Arah Juang, 2025. Diakses melalui: https://www.arahjuang.com/2025/08/01/harga-sebuah-keintiman-dan-pembebasan-perempuan-di-bawah-sosialisme/ pada Kamis 7 Agustus 2025.
•Demokratik Sosialis Party (DSP) Australia, “Feminisme dan Sosialisme”, Bintang Nusantara, 2015.
Musel Safkaur adalah anggota Organisasi Kaum Muda Sosialis (OKMS)