• Home  
  • Seks, Seksualitas dan Kapitalisme
- Hak Perempuan

Seks, Seksualitas dan Kapitalisme

Oleh : Yokbeth Fele Tentang Seks dan Seksualitas Banyak karya seni lukis dan seni rupa yang menunjukkan bagaimana tubuh perempuan di objektifikasi. Objektifikasi yang dimaksudkan dalam tulisan ini merujuk pada upaya melukiskan seksualitas perempuan dengan bentuk payudara dan vagina yang dianggap ‘ideal’. Beberapa pendapat mengatakan bahwa lukisan dengan mengidealisasikan tubuh perempuan terjadi pada pada masa […]

Oleh : Yokbeth Fele

Tentang Seks dan Seksualitas

Banyak karya seni lukis dan seni rupa yang menunjukkan bagaimana tubuh perempuan di objektifikasi. Objektifikasi yang dimaksudkan dalam tulisan ini merujuk pada upaya melukiskan seksualitas perempuan dengan bentuk payudara dan vagina yang dianggap ‘ideal’. Beberapa pendapat mengatakan bahwa lukisan dengan mengidealisasikan tubuh perempuan terjadi pada pada masa Era Renaissance (Pencerahan). Lalu timbul pertanyaan dari peristiwa ini mengapa karya-karya artistik ini “tidak terlihat senonoh?”.

Saya mencoba melihat hal ini dengan menelisik kondisi perempuan di Sentani.  Pada zaman sebelum kapitalisme hadir untuk memperkenalkan produk pakaian ala Eropa, perempuan di Sentani menggunakan cawat untuk menutup vaginanya. Menutup vagina dengan cawat biasanya akan dilakukan oleh perempuan Sentani yang berstatus sebagai istri, sementara bagi perempuan yang belum bersuami, mereka biasanya belum menggunakan cawat. Menariknya fase hidup seperti ini dilewati tanpa kasus-kasus kekerasan seksual.

Pada masa ini, ketika kita menggunakan pakaian berlapis-lapis untuk menjaga tubuh agar tetap “tertutup” , namun mengapa ironisnya, angka kekerasan seksual justru semakin meningkat? Ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak berkaitan dengan pakaian, tetapi bertaut erat dengan norma kapitalisme yang penuh dengan kontradiksi dalam mereduksi kekerasan dan penindasan bagi perempuan.

Saya hendak memulai pembahasan saya tentang vagina. Masyarakat adat di Sentani pernah menggunakan vagina sebagai salah satu motif dasar yang digambar pada Hote (piring makan tradisional). Meskipun kami belum menemukan alasan pasti dibalik mengapa vagina atau “Qema” dalam bahasa sentani dilukiskan, tetapi motif ini menunjukkan bahwa vagina pernah digunakan oleh masyarakat adat. 

Sebenarnya di Sentani pada masa itu (sebelum kehadiran Belanda) telah ada pembahasan tentang vagina dan penis, namun topik ini selalu mengundang gelak tawa dalam catatan yang ditemui, tetapi semua ucapan tentang vagina dan penis justru tidak berpengaruh pada tindakan asusila. Tentu saja ini sangat berkait erat dengan bagaimana moral dan aturan masyarakat adat dalam mengatur kehidupan sosial pada masa itu. 

Kami di Aneta pun turut menggunakan “Vagina” sebagai simbol Aneta dengan merekonstruksi makna ulang tentang Qema tersebut. Kami menjadikan vagina sebagai simbol harmoni, kekuatan, dan keindahan dalam perjuangan membangun keadilan. Namun sayangnya, penggunaan vagina justru mengundang gelak tawa dan masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu bagi sekelompok orang. 

Memang dewasa ini kita tidak bisa melukis vagina seperti dahulu, bahkan memeriksa vagina di depan kaca dan mendiskusikan kesehatannya pun masih menjadi topik yang sangat tabu untuk diperbincangkan oleh perempuan. Tak jarang, kita lupa bahwa vagina adalah identitas dari perempuan, tetapi vagina menjadi terasing dan tersubordinasi dari tubuh perempuan.  Hal ini justru terjadi disaat kapitalisme menggunakan  tubuh perempuan untuk memperoleh keuntungan. Bagaimana mungkin kapitalisme bisa menggambarkan “tubuh perempuan” dan mencoba “membangun keyakinan tentang tubuh ideal” sementara kita justru tidak memiliki akses pengetahuan atas pembahasan tentang tubuh kita?

Kapitalisme menggunakan teknologi untuk membuat perempuan menolak bentuk dan warna vaginanya. Begitu juga dengan laki-laki yang akhirnya merasa bahwa ukuran penis dapat mempengaruhi maskulinitas mereka dalam berhubungan seksual. Padahal sejatinya esensi dari hubungan seks bukan berada pada ukuran penis dan bentuk vagina, tetapi pada pertanyaan dasar untuk apa seks itu dilakukan.

Dalam fase pembabakan sejarah yang disebut Marx sebagai Komunal Primitif, estetika dari bentuk kelamin bukanlah esensi dari seks. Seks pada masa itu ada sebagai upaya melanjutkan atau mereproduksi  kehidupan. 

Mengenai ini Evelyn Reed menulis “Seperti segala hal dalam alam dan masyarakat, seks telah mengalami evolusi. Beribu-ibu tahun silam, formasi seksual dalam reproduksi belum ada. Setelah itu, formasi seksualitas tersebut muncul dan mengalami banyak modifikasi hingga pada bentuk tertingginya. Perubahan paling drastis yang terjadi dalam evolusi seks muncul dalam dunia manusia ketika seks itu digabungkan dengan sentimen cinta dan kelembutan hati dan mengambil dimensi baru yang terpisah dari fungsi prokreatif.” 

Penjelasan Reed mempertegas kalimat-kalimat sederhana yang sering kita dengar hari ini bahwa seks bukanlah cinta, seks dan cinta adalah dua hal yang berbeda. Dalam bentuk tertingginya saat ini, manusia menggabungkan seks menjadi cinta untuk memperoleh kontrol secara emosional terhadap pasangannya. 

“Kalau tidak seks berarti tidak cinta.” Ujar seorang kawan. 

Seks adalah hasrat yang dimiliki oleh kedua individu. Menurut Reed “Suatu spesies yang bertahan hidup, baik manusia ataupun binatang, bergantung pada pemenuhan dan kebutuhan pokok: makanan dan seksual. Makanan menjadi prioritas, tanpa makanan spesies akan mati. Namun kawin juga menjadi kewajiban, jika spesies mau terus berlanjut.” 

Masih menurut Reed, lapar pada spesies adalah mekanisme organik yang muncul dalam evolusi. Lapar terbagi menjadi dua, yaitu lapar ingin makan dan lapar ingin kawin. Lapar di sini haruslah dimaknai sebagai rangsangan otak pada tubuh ketika tubuh membutuhkan makanan dan ketika tubuh menginginkan seks. 

Mengapa tubuh menginginkan seks?  Secara alamiah ketika manusia memasuki usia pubertas, manusia telah memasuki fase dewasa secara seksual, artinya gairah untuk berhubungan seksual telah muncul. 

Dalam beberapa aturan adat, terdapat pemahaman bahwa menstruasi pada perempuan adalah tanda bahwa perempuan tersebut telah siap untuk menikah dan memiliki anak. Secara seksual memang benar, namun untuk alasan kesehatan, sebenarnya pernikahan anak usia dini tidak diperbolehkan. 

Para antropolog mencoba menggali suatu aturan yang muncul dalam masyarakat, yang dikenal sebagai Tabu Seks. Tabu seks adalah aturan yang mengatur bahwa laki-laki tidak boleh berhubungan seksual dengan Ibu-nya, saudara kandungnya, bahkan saudara semarga atau yang memiliki hubungan kekerabatan dengannya. Dan pengetahuan ini merupakan hasil dari kehidupan kolektif pada masa komunal dimana suatu aturan diciptakan untuk mengikat anggota keluarga dan komunitas.

Pemahaman manusia tentang seksualitas berevolusi lewat aturan-aturan yang ditetapkan. Pada beberapa suku, kita menemukan pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam rumah inisiasi ketika mereka memasuki usia pubertas. Ini menunjukkan pemahaman masyarakat bahwa laki-laki dan perempuan yang telah memasuki fase dewasa secara seksual harus “dipisahkan”. Di pengaturan adat lainnya, beberapa suku mengasingkan perempuan yang sedang haid di dalam hutan, namun dengan tetap memastikan ketercukupan pangannya. Ketika ditanya rasionalisasi dari aturan tersebut, seorang mama dari Suku Mandobo di boven digoel berkata “supaya kami tidak sentuh bapak punya senjata perang”, perempuan yang haid dianggap memiliki kemampuan untuk melemahkan senjata perang tersebut. Namun,  dalam logika modern, hal ini tampaknya bentuk kontrol terhadap perempuan, tapi dalam sudut pandang lainnya, mengasingkan perempuan yang haid dapat juga dianggap sebagai bentuk pemberian hak untuk beristirahat bagi perempuan tersebut. Tentu kita dapat berdebat tentang hal tersebut, tapi poin yang ingin saya sampaikan melalui ilustrasi ini tentang bagaimana pengaturan seksual sudah dilakukan sejak zaman pra-kapitalisme seperti yang terjadi di konteks masyarakat adat di Papua. 

Ini menjadi penting untuk mengakui bahwa adat yang dikonstruksikan oleh suatu komunitas telah mengetahui bagaimana cara mengatur kehidupan laki-laki dan perempuan secara seksual. Local wisdom tentang seksualitas semacam ini masih perlu digali untuk menelisik kehidupan perempuan dan laki-laki dalam suatu komunitas sebelum kita masuk pada kesimpulan mengenai penindasan seks dalam kapitalisme.

Di era revolusi digital ini, perempuan memiliki kebebasan untuk menari. Penggunaan aplikasi seperti tiktok mempermudah kita untuk menjumpai banyak akun-akun milik perempuan yang dipakai untuk menari, joged, goyang, atau apapun istilah yang digunakan.  Kita akan menemukan akun-akun ini mendapatkan banyak pengikut, likes dan shares.  Terdapat pola yang sama pada masa Feodalisme dan Kapitalisme, yaitu pengobjektifikasian tubuh perempuan yang selalu diminati. Namun dalam kapitalisme, teknologi informasi yang ada turut bekerja untuk menghapus priviles yang dimiliki oleh kelompok-kelompok bangsawan, di mana kenikmatan melihat tubuh perempuan yang menari bukan lagi menjadi milik sih raja saja, tetapi milik semua orang yang memiliki handphone dan pulsa data. Menari dalam kapitalisme saat ini bukan lagi karena ‘terpaksa’ tetapi karena ‘pilihan’ dan bukan untuk ‘seseorang’ atau ‘sekelompok orang’ tetapi untuk ‘banyak orang’. 

Memang paradoks dalam kapitalisme telah menghapuskan batasan yang ada, menggeser makna dan menciptakan kontradiksi antara kebebasan dan penindasan dalam sistem yang mengobjektifikasi tubuh perempuan.

Tubuh perempuan dapat dikatakan estetik, indah dan penuh dengan nilai artistik, namun ini digunakan oleh kapitalisme untuk mengkonstruksikan imajinasi kolektif yang memunculkan paradoks, di mana tubuh perempuan di objektifikasi dan dieksploitasi, lalu “dituding” sebagai dalang atau penyebab munculnya rasa “nafsu” untuk berhubungan seks, oleh sebab itu tubuh perempuan dibatasi dan diatur. Ketika kekerasan seksual terjadi, contohnya ketika perempuan diperkosa, maka perempuan dan pakaiannya yang bersalah atas kekerasan tersebut. Akhirnya perempuan menjadi korban berlapis dalam kapitalisme.

Industri Pornografi

Ketika bicara tentang pengobjekfikasian dalam kapitalisme, pornografi memiliki dampak yang sangat besar dalam mengobjektifikasi tubuh perempuan, memperlihatkan hubungan seks yang tidak masuk akal, mempengaruhi cara kerja otak dalam menerima rangsangan seksual, dan menciptakan ekspektasi  tentang tubuh perempuan yang sama sekali tidak rasional.

Kami menemukan cerita pendamping yang mengikuti Sekolah Perempuan yang kami laksanakan di Jayapura. Ia menceritakan bagaimana menonton film porno telah menjadi salah satu kebiasaan bagi para suami di kampung tempat ia bekerja. Akibatnya ketika usai menonton film porno, mereka akan memaksakan istri mereka untuk berhubungan seksual.

Pemaksaan hubungan seksual dalam pernikahan selalu dapat “dibenarkan” karena status legal pernikahan. Padahal tindakan pemaksaan hubungan seks pada pasangan merupakan bentuk lain dari pemerkosaan karena memiliki unsur paksaan di dalamnya. Hubungan seks yang tadinya dilakukan untuk  memiliki anak dan melanjutkan marga dalam komunitas adat, justru menjadi hubungan seks yang dilakukan untuk mendapatkan rasa kepuasaan dan kenikmatan. Di sinilah letak kapitalisme bekerja dimulai dari menghancurkan relasi manusia, baik relasi pernikahan dan relasi kolektif dalam komunitas adat, hingga mempengaruhi nilai hidup dari spesies bernama manusia (homo sapiens). 

Pornografi sejatinya adalah industri, layaknya film dan musik, oleh sebab itu disebut sebagai Industri Pornografi karena melibatkan sekelompok orang yang memiliki modal dan menjalankan bisnis demi meraih profit.

Di wilayah Asia, Jepang adalah salah satu negara yang melegalkan bisnis pornografi. Tak tanggung-tanggung, Jepang memiliki aturan, yang mengesahkan dan melegalkan pornografi secara konstitusi. Dan secara tidak langsung industri pornografi memiliki sumbangsih penting pada perekonomian negara Jepang.  Estimasi keuntungan dari industri pornografi di Jepang mencapai $4,4 miliar dengan perkiraan produksi mencapai 20.000 judul pertahun.

Dalam catatan The Guardian dituliskan bahwa Industri porno memiliki pendapatan mencapai $15 miliar, jauh lebih tinggi dibanding netflix $11,7 miliar. 

Sementara itu dalam catatan tirto mengungkapkan bahwa cukup sulit untuk memperkirakan berapa pendapatan dan keuntungan dari bisnis pornografi karena tidak adanya akuntabilitas dalam menunjukkan pendapatan dari bisnis ini. 

Hal menarik lainnya terletak pada alasan mengapa orang tidak banyak mencari tahu keuntungan dari bisnis tersebut; Pertama karena ini belum dilihat sebagai bisnis dan kedua ini berkaitan dengan tabu seksualitas sebagai topik yang belum dapat dibahas. 

Secara ekonomi, seksualitas dan erotisme yang ditampilkan lewat teknologi telah memberikan keuntungan, namun topik ini masih sulit untuk dibahas.

Grafis Tirto begitu menarik ketika menunjukkan bahwa di tahun 2016 saja video-video di situs PornHub telah ditonton sebanyak 9,2 miliar kali.  Ini baru jumlah kunjungan pada satu situs porno, belum situs-situs porno lainnya, apa lagi jika ditambah dengan penonton video porno bajakan. 

Terbaru dalam tulisan Shira Tarrant mengenai Industri Pornografi menyebutkan bahwa di tahun 2018,  70 juta orang mengunjungi situs porno setiap minggunya.

Padahal banyak konten film porno yang menunjukkan hubungan seksual yang sangat tidak rasional, tetapi film-film tersebut terus diproduksi karena ini ditonton oleh para pelanggan video porno. Contohnya adalah normalisasi fantasi terhadap anak kecil atau yang dikenal sebagai pedofilia,  dan hubungan seks antara manusia dan binatang atau bestialitas, atau menunjukkan bagaimana orang mendapatkan kepuasaan seks melalui aktivitas seksual yang penuh dengan kekerasan.

Apakah menonton film porno berpengaruh pada kehidupan seksual? Tentu saja. Sebab salah satu dampak dari menonton film porno adalah disfungsi seksual, di mana penonton film porno secara aktif akan sulit menemukan gairah dalam hubungan seksual secara fisik.

Selain itu, pornografi disinyalir mendorong peningkatan dopamin di otak. Dalam kerja kerusakan otak, menonton film porno jauh lebih berbahaya dibanding dengan memakai zat-zat aktif seperti narkotika karena dalam penjelasan neurosains, menonton film porno memberikan kepuasaan yang sama seperti melakukan hubungan seksual secara langsung, namun transmisi yang berubah pada dopamin saat menonton film porno telah berdampak pada depresi dan kecemasan yang dialami oleh penontonnya. Para konsumen pornografi selalu membutuhkan lebih banyak pornografi, mereka tidak akan puas hanya dengan menonton satu video dan akan terus mencari video lainnya.

Dr. Mark Kastleman memberi nama pornografi sebagai visual cocain atau narkoba lewat mata. Bagian otak yang paling merusak adalah pre frontal cortex (PFC) yang membuat seseorang sulit membuat perencanaan, mengendalikan hawa nafsu dan emosi, serta mengambil keputusan dan berbagai peran eksekutif otak sebagai pengendali impuls-impuls.

Dampak terburuk dari pornografi manusia yang memilih untuk tidak melakukan hubungan seks, sebab para penggemar pornografi akan lebih memilih menonton film porno dibanding berhubungan seks secara langsung.

Namun perlu digaris bawahi bahwa dampak pornografi akan berbeda seturut dengan kondisi wilayah dan manusia yang mengkonsumsi film porno. Di wilayah seperti Tanah Papua yang masih hidup dengan norma-norma dan kebudayaan yang mengatur pemisahan seksual, justru pornografi menjadi pemicu hubungan seks yang penuh dengan kekerasan dan pemaksaan, di mana seks dan pornografi bekerja untuk memberikan kepuasaan dan kenikmatan. Tetapi untuk wilayah yang kehidupan sosialnya lebih liberal, pornografi justru menyebabkan hilangnya gairah seksual. Manusia justru terus memburu kepuasaan dan kenikmatan seksual dengan menonton bukan berhubungan seks secara langsung.

Kesimpulan

Seks maupun seksualitas, keduanya sama-sama diobjektifikasi dalam sistem kapitalisme . Ketika aktivitas seks direduksi oleh kapitalisme menjadi semata-mata kenikmatan, hal ini sejatinya merupakan upaya penindasan dalam ranah personal. Sebab, dalam pengejaran kenikmatan semata, , perempuan kerap ditaklukkan dan terperangkap dalam relasi yang membelenggu seksualitas mereka Dampak lebih jauh dari pengejaran kenikmatan seksual yang direduksi kapitalisme ini terlihat pada  berbagai praktik, seperti, berganti-ganti pasangan atau penggunaan jasa pekerja seks, tanpa pengaman, yang pada  akhirnya berdampak pada infeksi menular seksual dan ragam virus lainnya. 

Seks yang tidak dipenuhi membuat banyak orang mencari alternatif dengan menjadi pecandu pornografi sebab hanya dengan menonton, manusia pun telah merasa menemukan kenikmatan. Padahal, kenikmatan sejati tentu tidak dapat ditemukan melalui pornografi. 

Dalam membangun ulang dunia dan melawan ketidakadilan, pemaknaan ulang tentang seks menjadi sangat penting. Apakah seks dan cinta adalah satu kesatuan? Tentu saja tidak. Cinta adalah perasaan memberi tanpa pamrih dan perasaan ingin tanpa jemu. Karl Marx berkata cinta hanya dapat ditukar dengan cinta. Kita hanya akan merasa dicintai ketika kita sadar bahwa kehadiran kita diterima dan diinginkan bukan kita akan dicintai ketika kita memberi seks. Kita bisa berhubungan seks dengan 10 orang tanpa cinta dan dalam relasi personal dengan manusia, kita bisa mencintai tanpa seks, sebab seks adalah gairah seksual yang muncul karena rangsangan. Seks tetaplah seks. Seks menjadi uang karena seks memiliki nilai, sama halnya dengan tubuh perempuan yang membawa keuntungan karena memiliki nilai dan digunakan untuk mendorong rangsangan itulah sebabnya banyak iklan-iklan dan film-film yang menunjukkan seksualitas perempuan agar banyak dilihat.

Dalam melawan kapitalisme kita masih membutuhkan lebih banyak analitis tentang cara kerja otak dan kebutuhan manusia untuk berhubungan seks dan pemenuhan kebutuhan emosional manusia akan penerimaan diri dan perasaan dicintai, sembari memastikan bahwa kita bukan sekedar mendorong dunia yang adil, tetapi dunia yang menjamin bahwa ada keseimbangan antara relasi antara laki-laki,  perempuan, LBGTQ, dan alam semesta. 

Referensi :

  1. https://www.theguardian.com/world/2017/may/15/forced-into-porn-japan-moves-to-stop-women-being-coerced-into-sex-films
  2. https://tirto.id/berapa-besar-pendapatan-industri-porno-edqa
  3. https://neurosciencenews.com/neuroscience-pornography-brain-15354/

Tentang Aneta

Aneta lahir sebagai respons atas kekosongan itu. Kami adalah media alternatif yang hadir untuk mendokumentasikan, menyuarakan, dan memperjuangkan pengalaman serta pengetahuan perempuan Papua dan kelompok marjinal. 

Kontak: +62 …

Visi

“Aneta menjadi ruang berpikir, berlawan, dan bertutur bagi perempuan dan kelompok marjinal untuk masa depan yang adil, setara, dan tanpa diskriminasi.”

Aneta @2025