Banyak perempuan di Papua menjadikan ponsel sebagai ruang bertahan—bukan hanya untuk berkomunikasi, tetapi untuk menyusun ulang kekuatan diri. Dalam salah satu kisah yang kami temui, seorang pendeta perempuan yang kehilangan dua anaknya dalam kecelakaan laut, mengungkapkan bahwa menulis di Facebook menjadi cara paling tenang baginya untuk menerima duka. Bukan di mimbar, tetapi di layar kecil yang ia genggam setiap malam, ia merangkai kalimat-kalimat pendek sebagai bentuk perlawanan sunyi. Di tangan perempuan seperti dirinya, ponsel menjadi ruang intim untuk mengolah rasa sakit, mengungkap kejujuran, dan merawat harapan.
Tapi belakangan, ruang itu terasa mengecil. Komentar-komentar dari para pengikut yang lebih banyak menggurui dan menghakimi membuatnya ragu untuk terus menulis. Padahal, menulis adalah bentuk kejujurannya yang paling utuh, karena ia juga bukan tipe yang mudah berbicara langsung kepada orang lain.
Nyatanya, di balik layar kecil ponsel, banyak perempuan sedang melawan: rasa sunyi, ketimpangan, dan invisibilitas. Ponsel sering dianggap sekadar alat konsumsi, tempat scroll tanpa henti, hiburan sekejap, atau belanja impulsif. Tapi bagi banyak perempuan, terutama yang hidup dalam ruang-ruang yang membatasi suara mereka, ponsel adalah alat produksi: produksi suara, makna, dan kehadiran. Di sanalah mereka membangun ruang sosialnya sendiri, kadang lewat status yang jujur, kadang lewat unggahan foto jualan, kadang lewat komentar ringan yang justru menyambung solidaritas.
Suara yang Tidak Menunggu Ijin
Di dunia nyata, suara perempuan kerap disepelekan, dibungkam, atau dianggap “terlalu emosional.” Tapi di media sosial, perempuan bisa memilih kata, menyusun narasi, bahkan menciptakan komunitas tanpa harus meminta izin. Bagi sebagian perempuan, ponsel adalah satu-satunya ruang di mana mereka bisa berbicara tanpa dipotong, menangis tanpa harus ditatap, dan belajar tanpa dihakimi.
Para Perempuan ini mungkin tidak berdiri di atas panggung atau menulis di koran nasional. Tapi unggahan-unggahan sederhana tentang kekerasan rumah tangga, status keluhan tentang harga bahan pokok yang makin mahal, atau sekadar cerita jujur tentang menjadi ibu tunggal, semua itu adalah bentuk perlawanan sunyi.
Lewat ponsel, perempuan menyusun ulang ruang bicara mereka. Mereka tidak menunggu izin dari suami, ayah, pendeta atau struktur sosial mana pun untuk bersuara. Mereka mengubah luka menjadi cerita, cerita menjadi kekuatan, dan kekuatan itu tersebar dari satu layar ke layar lain.
Cerita yang Menggugah Solidaritas
Dalam beberapa pekan lalu, perbincangan di media sosial sempat dipenuhi respons terhadap keberanian seorang perempuan muda Papua yang mengangkat kisah pribadinya. Ia membagikan pengalamannya sebagai istri yang ditinggalkan tanpa kejelasan—suaminya pergi bertahun-tahun, tidak memberi kabar, dan diam-diam membangun keluarga baru di negara tetangga. Yang ia alami bukan hanya penelantaran fisik, tapi juga penghapusan sosial dan emosional. Ia tidak diberi ruang untuk bertanya, apalagi menuntut.
Kisahnya mengundang simpati, tetapi juga menyulut kontroversi. Di satu sisi, ia dipuji karena berani bicara. Di sisi lain, sebagian netizen justru mempertanyakan motifnya, menganggap unggahannya sebagai “aib yang diumbar.” Dalam konteks seperti ini, kita melihat bagaimana media sosial menjadi ruang yang ambivalen—memberi ruang bagi suara perempuan, tetapi juga menjadi arena baru bagi kontrol, penghakiman, dan represi simbolik.
Fenomena ini bukan hal baru. Di ruang digital, suara perempuan Papua sering kali tidak hanya diragukan, tapi juga dibelokkan. Kritik terhadap ketimpangan sosial dan kultural kerap dikemas ulang sebagai “drama,” “provokasi,” atau “tidak tahu bersyukur.” Narasi-narasi lokal yang menyuarakan pengalaman konkret perempuan Papua dipaksa bersaing dengan suara-suara dominan yang datang dari luar konteks, tetapi lebih cepat dipercaya karena hadir dalam kemasan yang lebih “menyenangkan.”
Salah satu contohnya tampak dalam polemik seputar kritik gastro colonialism yang muncul lewat unggahan seorang influencer nasional tentang makanan lokal Papua. Dalam unggahannya, makanan yang dimasak dengan konteks budaya yang kompleks justru dijadikan objek estetika eksotis belaka. Reaksi masyarakat Papua, terutama perempuan muda, yang menyuarakan keberatan dan menjelaskan konteks kolonial dalam representasi makanan, malah dibalas dengan hujatan, pembelahan internal, bahkan tuduhan politisasi identitas.
Situasi ini menunjukkan bagaimana media sosial bukan hanya ruang ekspresi, tetapi juga medan konflik kuasa narasi. Ketika perempuan Papua bicara tentang luka, kehilangan, atau ketimpangan, suara mereka tidak selalu diberi ruang yang adil. Narasi yang lahir dari pengalaman langsung sering ditenggelamkan oleh algoritma yang lebih menyukai hiburan, sensasi, atau versi “Papua” yang aman dikonsumsi publik.
Yang menarik, kasus-kasus ini tidak muncul dari mimbar gereja, meja pengadilan, atau berita resmi. Ia muncul dari unggahan-unggahan media sosial, dari suara para perempuan muda yang menolak membiarkan kisahnya terkubur diam seperti banyak kasus lain sebelumnya. Unggahan itu memantik diskusi, menyulut solidaritas, dan mengingatkan kita bahwa media sosial, di tangan perempuan, bisa menjadi ruang pengadilan moral, ruang kesaksian, dan ruang pengorganisiran.
Ketika institusi-institusi formal gagal memberi tempat bagi suara perempuan, ruang digital menjadi alternatif yang efektif namun juga penuh kerentanan. Di sinilah terlihat: perlawanan perempuan tidak selalu hadir dalam bentuk yang keras, namun bukan berarti lemah. Ia bisa tampil lewat cerita, unggahan, atau kalimat-kalimat yang perlahan menyentuh banyak hati. Di ruang digital, perempuan belajar bahwa mereka tidak sendiri; bahwa pengalaman mereka punya nilai untuk disuarakan; dan bahwa ketidakadilan, sekecil apa pun bentuknya, tetap layak untuk dilawan.
Kasus itu tidak berdiri sendiri. Ia menjadi refleksi dari betapa banyak suara yang selama ini terbungkam, kini mulai muncul ke permukaan. Aktivisme itu memantik banyak diskusi di antara para perempuan. Tak lagi hanya berupa empati diam-diam, tapi menjadi ruang bersama yang berani membedah realitas. Ada banyak lapisan analisis yang tergali: mulai dari kritik terhadap budaya patriarki yang membungkam perempuan dalam pernikahan dan keluarga, hingga seruan akan urgensi keadilan gender bagi perempuan Papua di tengah pergulatan panjang keadilan politik di tanah ini.
Bayangkan betapa segarnya jika realitas perempuan tidak lagi disembunyikan di balik selimut sopan santun sosial. Ketika pengalaman sehari-hari yang selama ini dianggap sepele atau urusan domestic, dibahas terbuka sebagai bagian dari kritik sosial yang sah dan tajam. Di ruang-ruang digital seperti inilah, bentuk mimbar perempuan mulai bergeser: dari podium kayu menjadi caption, dari mikrofon gereja menjadi status Facebook, dari liturgi formal menjadi suara jujur tentang luka dan harapan. Perempuan tidak menunggu struktur formal memberi mereka ruang. Mereka menciptakan ruang itu sendiri di genggaman tangan mereka.
Dilema dan Tantangan Digital
Namun, bertutur lewat ponsel tidak selalu menjadi ruang yang utuh dan membebaskan. Di balik layar yang tampak personal itu, terselip dilema moral dan struktural yang tidak sederhana. Kapitalisme media sosial menyusup secara halus melalui algoritma, skema monetisasi, dan dorongan untuk tampil sensasional demi meraih perhatian. Apa yang semula lahir sebagai ekspresi jujur bisa dengan cepat berubah menjadi komoditas—dijual, dipertontonkan, lalu dilupakan.
Lebih dari itu, ruang digital juga menjadi ladang subur bagi munculnya kelompok buzzer pembenci—akun-akun bayaran atau sukarela yang bekerja sistematis untuk membungkam kritik, menyebarkan disinformasi, dan menyerang siapa pun yang dianggap “mengganggu kenyamanan publik.” Bagi perempuan Papua yang berani bersuara, kehadiran buzzer ini sering berarti serangan berlapis: berbasis gender, ras, dan politik.
Sementara itu, algoritma bekerja diam-diam untuk membentuk ulang kesadaran. Dengan mendorong konten-konten yang cepat, dangkal, dan sensasional, banyak pengguna tanpa sadar terperangkap dalam siklus brain rot yakni kemunduran berpikir kritis akibat konsumsi informasi yang seragam dan reaktif. Di tengah arus seperti ini, narasi kritis dan pengalaman nyata perempuan Papua sering tenggelam, dianggap terlalu “berat” atau “tidak menarik” untuk algoritma yang lebih menyukai hiburan ringan.
Kini banyak perempuan, termasuk mereka yang bertahan hidup dari membuat konten, dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit: apakah tetap menyuarakan hal-hal yang bermakna, atau mulai menyesuaikan diri dengan selera pasar digital yang kerap lebih menghargai tontonan daripada kedalaman pesan. Ruang yang tadinya personal dan menyembuhkan, perlahan berubah menjadi panggung kompetisi visual, tempat keberhargaan diukur dari jumlah like, views, dan komentar.
Sebagian perempuan akhirnya memilih diam atau menjauh. Bukan karena mereka tidak mampu bersuara, tetapi karena kelelahan. Terang melelahkan ketika harus terus melawan algoritma yang lebih tertarik pada hiburan instan daripada kenyataan hidup yang mereka bawa. Di tengah kebisingan digital, keberanian mereka sering tidak dibaca sebagai pesan, melainkan hanya sebagai lalu lintas konten.
Dalam banyak ruang digital, ekspresi perempuan Papua, baik lewat kata, gambar, maupun tubuh sering kali disalahpahami atau direduksi. Narasi-narasi dominan cenderung melihat tubuh perempuan sebagai objek, bukan sebagai subjek yang menyampaikan makna.
Padahal seperti yang pernah dikatakan oleh Bell Hooks, tubuh perempuan kulit berwarna adalah “site of resistance,” ruang perlawanan itu sendiri. Ekspresi yang tampak sederhana, termasuk unggahan personal di media sosial, bisa menjadi bentuk pembebasan simbolik dari keterkungkungan kolonial, patriarkal, dan moralitas publik yang bias. Di balik setiap bentuk ekspresi perempuan, selalu ada konteks: sejarah marginalisasi, relasi kuasa, kebutuhan akan pengakuan, dan hasrat untuk bicara atas nama diri sendiri.
Menuju Gerakan yang Komunal
Pada akhirnya, ponsel adalah tantangan baru dalam dinamika hidup perempuan hari ini. Ia bisa menjadi ruang kuasa, tapi juga ruang luka. Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) adalah salah satu bentuk paling nyata dari itu, dan sayangnya, sangat serius. Beberapa anak perempuan yang kami temui menjadi korban: foto-foto mereka disebarluaskan tanpa izin, identitas mereka dipermainkan, dan trauma mereka tumbuh dalam senyap, tanpa dukungan yang memadai. Semua itu terjadi di media sosial, ruang yang dijanjikan sebagai wilayah kebebasan, tapi ternyata menyimpan banyak ketidakamanan.
Inilah paradoks zaman ini: alat yang memberi perempuan ruang bicara, adalah juga alat yang bisa membungkam mereka dengan cara baru—lebih halus, lebih sistematis, dan sering kali tidak terlihat. Maka diperlukan gerakan yang tidak hanya memberi ruang ekspresi, tetapi juga menjamin perlindungan dan pemulihan. Bukan gerakan yang individual dan sesaat, tetapi gerakan yang komunal dan berkelanjutan.
Aktivisme perempuan di media sosial tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Ia perlu dibangun secara kolektif, bukan untuk kejar viralitas, tetapi untuk saling menguatkan. Sebuah gerakan yang tidak hanya keras suaranya, tapi juga jernih visinya. Yang bukan hanya bicara, tetapi juga tumbuh bersama: saling belajar, saling jaga, dan saling dengar. Media sosial, dengan segala paradoksnya, bisa menjadi alat pemberdayaan jika diiringi dengan pendampingan dan pendidikan yang mencerahkan. Ruang digital harus terus diadvokasi agar tidak jadi hutan algoritma yang menyesatkan, tapi menjadi kebun wacana yang berpihak pada hidup.
Karena itu, penting bagi kita untuk terus mengaitkan aktivisme daring dengan kehidupan nyata di luar layar: pendidikan yang membebaskan di sekolah dan komunitas, percakapan terbuka dalam keluarga, mimbar-mimbar agama yang ramah perempuan, serta praktik pengasuhan yang memberi ruang bagi anak-anak, khususnya anak perempuan, untuk bersuara tanpa takut disalahkan.
Aktivisme tidak cukup hanya terjadi di layar. Ia perlu menyentuh tanah, menyapa hati, dan mewujud dalam cara kita hidup bersama. Barangkali di situlah letak kekuatan yang sebenarnya: ketika ponsel tidak hanya menjadi alat bicara, tapi juga jembatan menuju dunia yang lebih adil dalam cerita, dalam kasih, dan dalam pengharapan yang dibangun bersama.
Aneta berdiri sebagai ruang alternatif untuk menyuarakan pengalaman perempuan Papua yang sering diabaikan dalam narasi arus utama. Di tengah lanskap media yang kerap menyederhanakan kompleksitas Papua dan mereduksi suara perempuan, Aneta berupaya membangun jurnalisme yang berpihak, intim, dan membebaskan. Kami percaya bahwa mendengarkan adalah kerja politik, dan bahwa narasi adalah alat perjuangan. Itulah sebabnya Aneta tidak hanya hadir sebagai media, tetapi juga sebagai komunitas pembelajar yang ingin bertumbuh bersama dalam kata, dalam praktik, dan dalam solidaritas.
Seperti yang pernah ditulis Naomi Hyman, penulis yang banyak mengeksplorasi pengalaman perempuan dan spiritualitas dalam teks-teks religius: “Kita menulis, karena di dalam tulisan kita menemukan tempat-tempat untuk diri kita di dalam ruang-ruang putih di antara huruf-huruf hitam.”