Mengapa Aneta Hadir?

Info Kontak

  • Home  
  • Pembubaran Massa Aksi Menggunakan Senjata Api oleh Kepolisian Republik Indonesia: Sebuah Pelanggaran HAM di Tanah Papua
- HAM

Pembubaran Massa Aksi Menggunakan Senjata Api oleh Kepolisian Republik Indonesia: Sebuah Pelanggaran HAM di Tanah Papua

Latar Belakang Aksi Damai Pada 15 Oktober 2025, kami yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Tanah Adat Papua (AMPPTAP) melakukan aksi demonstrasi damai dengan tema:“Menolak Investasi dan Militerisme” di Lingkaran Abepura, Kota Jayapura, Papua. AMPPTAP terdiri dari unsur Cipayung, BEM, OKP, serta seluruh mahasiswa di Kota Jayapura yang bersolidaritas dalam isu investasi dan militerisme. […]

Latar Belakang Aksi Damai

Pada 15 Oktober 2025, kami yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Tanah Adat Papua (AMPPTAP) melakukan aksi demonstrasi damai dengan tema:
“Menolak Investasi dan Militerisme” di Lingkaran Abepura, Kota Jayapura, Papua.

AMPPTAP terdiri dari unsur Cipayung, BEM, OKP, serta seluruh mahasiswa di Kota Jayapura yang bersolidaritas dalam isu investasi dan militerisme. Massa aksi berjumlah sekitar 700 orang lebih, berasal dari berbagai titik: Expo, Perumnas III, Abe Kamkey, Lingkaran Abe, UNCEN Waena, UNCEN Abe, dan USTJ.

Pada pukul 07.00 Waktu Papua, massa aksi mulai bergerak dari setiap titik sesuai kesepakatan kolektif dalam tek-lap di Aula KABESMA Universitas Cenderawasih (UNCEN). Namun, massa aksi di titik Expo, Perumnas III, dan UNCEN Waena dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian. Sebagian massa mencari jalan alternatif menggunakan taksi, sementara lainnya berjalan kaki hingga bertemu dengan massa aksi dari USTJ.

Setelah beberapa titik massa bergabung di UNCEN bawah, mereka melakukan long march menuju Abe Lingkaran, namun dihadang oleh ratusan polisi bersenjata lengkap di lampu merah Abe.

Kronologi Tindakan Represif Aparat

Pada pukul 11.20 Waktu Papua, koordinator lapangan dan penanggung jawab berusaha bernegosiasi dengan pihak kepolisian. Namun, sikap arogansi polisi justru memprovokasi massa aksi. Setelah dilakukan kesepakatan bersama antara penanggung jawab dan Kapolres untuk mundur ke Tugu Pendidikan Abe Lingkaran, aparat justru bertindak brutal.

Sekitar pukul 11.45 Waktu Papua, aparat Brimob mulai memukul massa aksi menggunakan karet mati dan menembakkan gas air mata (GAS CS) ke arah massa. Polisi kemudian mengeluarkan tembakan peluru tajam secara membabi buta. Kericuhan berlangsung hingga pukul 12.40, di mana massa aksi melempar batu sebagai bentuk pembelaan diri atas tindakan brutal aparat.

Salah satu korban penembakan adalah Eben Tabuni, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Cenderawasih angkatan 2020, yang mengalami luka tembak di bagian perut hingga menembus tangan kiri.

Ratusan mahasiswa lainnya menjadi korban gas air mata beracun, menyebabkan sesak napas massal, termasuk masyarakat sekitar yang ikut terdampak. Dalam kekacauan tersebut, lima mahasiswa ditangkap dan dipukuli, yaitu:
Simon Pekei, Jefri Tibul, Yoris Alwolmabin, Rupi Wonda, dan Ruben Kum.

Selain itu, massa aksi kehilangan 4 motor, 7 telepon genggam, dan 5 motor diangkut aparat kepolisian.

Kriminalisasi terhadap Aktivis Mahasiswa

Sehari setelah kejadian, pada 16 Oktober 2025 malam, Kapolresta Jayapura mengeluarkan Surat Panggilan terhadap penanggung jawab aksi dan korlap umum: Varra Iyaba, Kamus Bayage, dan Marthen Hagisimijau.

Pemanggilan tersebut kami tolak secara tegas, karena kericuhan disebabkan oleh provokasi dan tindakan represif kepolisian yang mengakibatkan korban jiwa dan kerugian materi. Kami menilai hal ini sebagai upaya kriminalisasi terhadap gerakan mahasiswa Papua di Kota Jayapura, sekaligus bentuk anti-demokrasi yang menutup ruang kebebasan berekspresi.


Landasan Hukum Aksi

Dalil hukum AMPPTAP dalam menyelenggarakan aksi damai di Kota Jayapura didasarkan pada:

  1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998
    Tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, yang menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat secara lisan, tulisan, unjuk rasa, atau bentuk demonstrasi lain. Dasar ini sejalan dengan Pasal 28 UUD 1945, yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat.
  2. Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012
    Pasal 9 menegaskan bahwa dalam penyampaian pendapat di muka umum, Kapolri wajib memberikan pelayanan profesional, menjunjung tinggi hak asasi manusia, asas legalitas, dan prinsip praduga tidak bersalah dalam pengamanan.
  3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA
    Mengatur perlindungan tanah adat dan hak ulayat masyarakat adat, termasuk:
  4. Menghapus perbedaan hukum kolonial terkait pertanahan
  5. Memastikan kepastian hukum melalui pendaftaran tanah
  6. Mengatur hak milik turun-temurun atas tanah
  7. Mewajibkan pendaftaran tanah adat milik masyarakat hukum adat.
    Perlindungan ini juga ditegaskan dalam Pasal 18B UUD 1945, yang mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya.

Pelanggaran HAM dan Kejahatan terhadap Demokrasi

Tindakan represif kepolisian terhadap massa aksi merupakan pelanggaran kode etik Polri sekaligus kejahatan terhadap demokrasi. Aksi AMPPTAP dilakukan berdasarkan amanat undang-undang dan merupakan bentuk protes atas perampasan tanah adat serta operasi militerisme massif di Tanah Papua, khususnya di wilayah Merauke, Boven Digoel, Sarmi, Keerom, Sorong, dan Jayawijaya. Selain isu investasi, kejahatan militer juga terjadi di wilayah Nduga, Puncak Jaya, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, Yahukimo, dan Kepulauan Yapen.

Investasi, Militerisme, dan Ancaman terhadap Tanah Papua

Program Proyek Strategis Nasional (PSN) selama tiga tahun terakhir telah berjalan di lima kabupaten (Merauke, Boven Digoel, Keerom, Sarmi, dan Sorong), diiringi pembangunan struktur militer (Kodam). Program ini sarat dengan kepentingan kapitalisme dan kolonialisme, tanpa melalui kajian Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memadai. Negara berdalih bahwa masyarakat adat Papua mengalami krisis energi dan pangan — narasi kosong yang digunakan untuk menjustifikasi eksploitasi sumber daya alam.

Di Merauke, pengalaman program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) telah menyebabkan hilangnya ribuan hektar tanah adat akibat manipulasi dan tipu daya perusahaan.

Tiga Program Kolonial yang Mengancam Masyarakat Adat

Terdapat tiga program nasional yang kini menjadi prioritas pemerintah kolonial Indonesia:

  1. Proyek Strategis Nasional (PSN)
  2. Politik Pendudukan / Transmigrasi
  3. Perluasan Struktur Militerisme di Tanah Papua

Ketiganya merupakan satu kesatuan kebijakan yang mengancam eksistensi masyarakat adat Papua demi kepentingan politik pendudukan dan eksploitasi ekonomi.

Kini, PSN juga telah masuk ke Kabupaten Jayawijaya (Wamena) dengan proyek cetak sawah di 12 distrik. Masyarakat adat yang tidak memiliki kesadaran kritis akan mudah menerima proyek semacam ini, padahal itu berarti kehilangan hak atas tanah dan masa depan anak cucu.

Penutup: Dalang Kejahatan Demokrasi

Melalui tindakan represif pada aksi 15 Oktober 2025, mahasiswa Papua menilai bahwa institusi kepolisian adalah dalang di balik kejahatan demokrasi dan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Mahasiswa menyatakan mosi tidak percaya terhadap institusi kepolisian, karena bukan lagi menjadi penegak hukum, melainkan aktor utama dalam pelecehan hukum dan penindasan terhadap suara rakyat.

Tentang Aneta

Aneta lahir sebagai respons atas kekosongan itu. Kami adalah media alternatif yang hadir untuk mendokumentasikan, menyuarakan, dan memperjuangkan pengalaman serta pengetahuan perempuan Papua dan kelompok marjinal. 

Kontak: +62 …

Visi

“Aneta menjadi ruang berpikir, berlawan, dan bertutur bagi perempuan dan kelompok marjinal untuk masa depan yang adil, setara, dan tanpa diskriminasi.”

Aneta @2025