(Sebuah Elegi Redaksi untuk Mereka yang Menulis, Mengajar, dan Mencintai Tanah dan Bangsanya hingga Akhir)
Tanah Papua di bulan Oktober bernafas pelan di bawah awan yang berat. Dari dua arah datang dua kabar duka — Yogyakarta dan Yahukimo. Dari kota dan dari pedalaman, dua perempuan Papua berpulang hampir bersamaan: Aprila Wayar, penulis dan jurnalis; serta Melani Wamea, guru di pedalaman.
Satu menulis dengan pena, satu mengajar dengan kapur — dua alat sederhana yang sama-sama menyalakan hidup. Mereka mati dalam keyakinan yang sama: bahwa hidup perempuan Papua bukan untuk diam, melainkan untuk bersuara, melayani, dan mencintai tanahnya dengan seluruh keberanian.
Aprila Wayar: Perempuan yang Menulis Papua dengan Air Mata dan Cinta
Perempuan tegar itu dikenal sebagai penulis novel perempuan Papua pertama — lahir dari rahim perjuangan, tumbuh di antara luka dan kasih tanahnya. Karya-karya pentingnya menjadi lentera bagi banyak dari kita yang menulis dari timur: Mawar Hitam Tanpa Akar (2009), Dua Perempuan, Tambo Bunga Pala, dan Hutan Rahasia — semua menjadi tanda bahwa orang Papua menulis tentang dirinya sendiri, dengan bahasanya sendiri.
Sebagai jurnalis, ia mendirikan Tapa News dan The Papua Journal, meliput pelanggaran HAM, aktivisme mahasiswa, dan suara-suara yang sering dibungkam. Dalam dirinya, menulis dan melawan adalah dua napas yang sama: satu untuk bertahan, satu untuk menyembuhkan.
Melani Wamea: Guru yang Mengajar di Tengah Bahaya dan Harapan
Tak jauh dari kisah perempuan yang menulis dari luka, ada juga seorang guru perempuan yang memilih tetap mengajar di tengah segala keterbatasan: Ibu Guru Melani Wamea. Ia melayani di Sekolah Jhon D. Wilson, Holuwon, Yahukimo — sekolah misi yang menjadi rumah bagi anak-anak dari berbagai lembah dan kampung sekitar.
Ia datang bukan untuk mencari aman, melainkan untuk berbagi terang. Di tanah di mana suara tembakan kadang lebih cepat dari doa, ia tetap datang membawa buku dan kapur, menulis harapan di hati anak-anak yang ia ajar. Ia percaya bahwa setiap huruf yang dia tuliskan di papan, setiap doa yang ia ucapkan di awal pelajaran, adalah bentuk kecil dari damai yang ia tanam. Kini, ketika namanya disebut dalam doa dan syukur banyak orang, kita mengenangnya bukan karena cara ia berpulang, melainkan karena kesetiaannya mengajarkan kehidupan di tengah ketakutan.
Dua Jalan, Satu Tanah: Refleksi Bersama
Aprila dan Melani mewakili dua bentuk perjuangan: satu menulis dari kota, satu mengajar dari hutan. Dua perempuan, dua alat — pena dan kapur — keduanya melawan sunyi dan kematian dengan cara mereka sendiri. Tanah ini mengenal keduanya, mengingat dan tidak akan pernah melupakan, sebab setiap perempuan Papua yang menulis atau mengajar sedang menulis kehidupan itu sendiri dalam keabadian ingatan. Mereka adalah bagian dari arus panjang perempuan Papua yang terus melawan kebengisan kapitalisme yang memporak-porandakan alam dan manusia.
Perempuan Papua yang menulis dan mengajar ini memilih jalan sunyi, tetapi dari kesunyian itu mereka mengukir makna — tentang cinta, tentang iman, tentang tanah yang mereka sebut sorga. Sorga yang jatuh ke bumi, sorga yang mereka jaga dengan tangan, air mata, dan kata. Bagi bangsa Papua, merekalah tanda bahwa keindahan dan kebenaran tidak mati — hanya berganti bentuk menjadi ingatan.
Kematian Aprila Wayar dan Melani Wamea adalah duka kolektif bagi kita semua.
Atas nama Redaksi Aneta, kami menundukkan kepala — bukan hanya untuk berduka, tetapi untuk menjaga nyala kata dan karya mereka di dalam ingatan kita bersama. Aneta akan terus menulis tentang perempuan Papua — baik yang sedang hidup dan berkarya, maupun mereka yang telah berpulang, yang hidupnya tetap berbicara melalui tanah, kata, dan kasih yang mereka tinggalkan.

