Mengapa Aneta Hadir?

Info Kontak

  • Home  
  • Ketika Perempuan Papua Menulis Bab Baru dalam STEM
- Pendidikan & Kapasitas

Ketika Perempuan Papua Menulis Bab Baru dalam STEM

Oleh: Sellina Aurora Di ruang sidang terbuka yang hangat di Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, layar proyektor menampilkan seekor ikan kecil berwarna perak dengan sirip berpendar seperti cahaya senja. Judul di layar itu berbunyi: “Strategi Pengelolaan Ikan Pelangi Arfak Berdasarkan Aspek Ekologis, Struktur Komunitas dan Genetik di Perairan Tawar Kebar.” Di hadapan para penguji, seorang perempuan […]

Oleh: Sellina Aurora

Di ruang sidang terbuka yang hangat di Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, layar proyektor menampilkan seekor ikan kecil berwarna perak dengan sirip berpendar seperti cahaya senja. Judul di layar itu berbunyi: “Strategi Pengelolaan Ikan Pelangi Arfak Berdasarkan Aspek Ekologis, Struktur Komunitas dan Genetik di Perairan Tawar Kebar.” Di hadapan para penguji, seorang perempuan Papua berdiri tegak. Suaranya bergetar bukan karena gugup, tetapi karena sejarah sedang ia tulis sendiri—sejarah yang jarang memberi ruang bagi perempuan seperti dirinya untuk berbicara, apalagi meneliti, tentang tanah airnya sendiri.

Membaca STEM dari Air dan Tanah Papua

Pemandangan itu bukan sekadar peristiwa akademik. Di ruang itu, sesuatu yang lebih besar sedang berlangsung: pengetahuan kembali ke tangan perempuan Papua. Selama ini, perempuan dari tanah ini selalu menjadi penjaga kehidupan: menanam, menimba air, membaca tanda-tanda alam, namun mereka jarang disebut sebagai ilmuwan. Kini, dari lembah Kebar, suara itu muncul di ruang universitas, menembus batas antara pengalaman dan teori, antara tradisi dan sains.

Seperti disoroti oleh Jurnal Perempuan (2016), perempuan sering tak diakui dalam dunia STEM meski selalu hadir dalam kerja-kerja pengetahuan yang menyelamatkan kehidupan. Di Papua, ini bukan karena perempuan tidak tertarik pada sains, melainkan karena cara mereka berpikir tentang alam tidak dimasukkan dalam definisi “ilmiah.”

Di sinilah penelitian Doktor Mariance Yemima Kaliele menemukan maknanya. Bidang Ilmu Lingkungan dan Perikanan yang ia tekuni adalah bagian dari STEM —sebuah disiplin yang memadukan biologi, kimia, teknologi, dan matematika untuk memahami hubungan antara manusia dan alam. Melalui riset tentang ikan pelangi Arfak, ia menerapkan teknologi analisis genetik, pemetaan ekosistem, dan pengukuran ekologis untuk tujuan yang jauh lebih dalam yakni menjaga keberlanjutan kehidupan. Dengan demikian, ia menunjukkan bahwa STEM bukan hanya soal laboratorium dan rumus, tetapi juga tentang bagaimana pengetahuan ilmiah bisa berakar di air, tanah, dan pengalaman perempuan Papua sendiri.

Jejak Perempuan dalam STEM

Langkah Doktor Mariance berdiri di atas jejak panjang perempuan yang telah lama berjuang membuka pintu dunia sains. Dari Hypatia di Aleksandria yang menulis tentang matematika dan kosmos pada abad ke-4, hingga Marie Curie yang meneliti radioaktivitas di laboratorium kecil di Paris, sejarah sains sebenarnya dipenuhi oleh suara perempuan — hanya saja sering dihapus atau disembunyikan di catatan kaki. Dengan penelitian tentang ekologi, struktur komunitas, dan genetika ikan pelangi Arfak, ia mempertemukan teknologi laboratorium dengan kearifan lokal , menjadikan sains bukan hanya alat memahami alam, tapi juga cara merawatnya.

Jika banyak penemuan besar dalam STEM lahir dari dorongan “menaklukkan” alam, maka langkah Doktor Mariance mengingatkan bahwa masa depan sains justru terletak pada kemampuan mendengarkan alam. Inilah inti dari sains yang berperspektif perempuan: ia tidak berangkat dari ambisi menguasai, tapi dari kerendahan hati untuk hidup berdampingan.

Dari titik ini, ilmu lingkungan dan perikanan menjadi jembatan antara dua dunia, antara teknologi modern dan kebijaksanaan Ibu Bumi, antara sistem akademik dan tubuh perempuan yang sejak lama menjaga kehidupan.

Doktor Mariance Kaliele dan Ilmu yang Berakar

Dalam disertasinya, Doktor Marianche meneliti ikan pelangi Arfak (Melanotaenia arfakensis), spesies endemik yang hidup di air jernih pegunungan Kebar—air yang oleh masyarakat setempat disebut air yang bernyawa. Ia menelusuri hubungan antara arus, suhu, vegetasi, dan genetik populasi ikan ini, untuk memahami bagaimana keseimbangan kecil di dalam sungai menentukan keberlanjutan seluruh ekosistem.

Dari pengamatan lapangan hingga analisis laboratorium, ia menemukan bahwa ikan pelangi hanya dapat bertahan di sungai-sungai yang masih bersih dan bernaung oleh hutan lebat; ketika pepohonan ditebang dan air menjadi keruh, warnanya memudar dan jumlahnya menurun. Dengan kata lain, setiap perubahan di hulu—setiap erosi, pembukaan lahan, atau limbah yang mengalir—tercermin langsung pada tubuh ikan pelangi. Ia menjadi semacam penanda hidup bagi kesehatan alam dan manusia di sekitarnya. Temuan itu menegaskan bahwa kebersihan air di lembah Arfak bukan hanya isu ekologis, tapi soal keberlanjutan hidup seluruh makhluk yang bergantung padanya.

Refleksi: Perempuan Papua dan Pengetahuan yang Pulang

Riset Doktor Mariance dapat dibaca dalam semangat ekofeminisme, yang menautkan pengalaman perempuan dengan alam sebagai ruang pengetahuan dan perawatan. Bagi banyak perempuan Papua, relasi dengan alam tidak pernah bersifat teoritis: mereka menyentuhnya setiap har: menimba air dari sumur atau sungai, menanam dan memanen dengan irama musim, mengukur arah angin dengan tubuh sendiri.

Sejak kecil, anak perempuan sudah belajar merawat kehidupan: menjaga ikan yang dipelihara di kolam kecil di samping rumah, atau memberi makan ikan liar tanpa sengaja saat mencuci piring di kali — ketika sisa keladi atau ampas ikan asar terbawa arus, dan riak air berkilau oleh sirip-sirip kecil yang menari di bawahnya. Mereka mengenali alam bukan dari buku, melainkan dari kebersamaan yang hening — dari suara air yang jernih, dari tubuh yang setiap hari bersentuhan dengan ciptaan. Dari tubuh mereka, pengetahuan ekologis diturunkan sebagai bahasa keseharian, bukan sekadar konsep ilmiah.

Melalui disertasinya tentang ikan pelangi Arfak, Dr. Mariance menempatkan diri dalam garis panjang perempuan yang menjaga kehidupan itu. Ia membaca sungai dan vegetasi dengan alat laboratorium, namun juga dengan mata yang terbiasa melihat keseimbangan. Dalam setiap data yang ia kumpulkan, seolah ada bisikan lama yang kembali terdengar: bahwa bumi adalah tubuh yang hidup, bukan objek eksploitasi.

Di sinilah risetnya bersentuhan dengan ide Ibu Bumi, gagasan yang selalu mengaitkan perempuan dengan perawatan terhadap alam. Melalui ilmu lingkungan yang ia dalami, Doktor Mariance seolah mengembalikan sains kepada pangkuan Ibu Bumi: membuat pengetahuan tentang air, tanah, dan makhluk hidup pulang ke asalnya. Ia menunjukkan bahwa ilmu yang lahir dari laboratorium bisa tetap berdenyut lembut, bahwa teknologi terapan di bidang lingkungan dan perikanan dapat menjadi bahasa kasih, bukan dominasi. Melalui tangannya, ilmu modern menyapa kembali bumi dengan sikap hormat — seperti seorang anak yang kembali ke pangkuan Ibunya.

Dari Air, Kembali ke Air: Refleksi Teologi tentang Perempuan dan Alam

Dalam terang teologi, langkah perempuan Papua seperti Doktor Mariance bukanlah hal baru, melainkan gema dari kisah yang sudah lama ada. Dalam Discovering Eve, teolog feminis Carol Meyers menulis bahwa perempuan Ibrani kuno adalah perawat alam sekaligus pencetus teknologi kehidupan: mereka yang pertama kali mengolah tanah, menciptakan alat untuk menumbuk biji-bijian, menenun pakaian, dan meramu obat dari tumbuhan di sekitar mereka. Bagi Meyers, kegiatan itu bukan sekadar pekerjaan rumah, tetapi bentuk awal dari ilmu pengetahuan, cara perempuan memahami ciptaan dan menjaga keberlanjutan hidup.

Jika dilihat dari sana, karya ilmiah Doktor Mariance di lembah Kebar seolah meneruskan warisan para perempuan dalam Alkitab, mereka yang berjalan bersama bumi, bukan di atasnya. Mereka tidak menaklukkan taman, tetapi merawatnya agar tetap hidup dan memberi makan. Semangat itulah yang kini hadir dalam riset tentang ikan pelangi: sebuah bentuk pengabdian ilmiah yang juga adalah doa bagi keberlangsungan air dan hutan. Di titik ini, sains dan iman tidak lagi berseberangan. Keduanya bertemu dalam tangan perempuan yang bekerja dengan kasih: tangan yang menumbuk keladi dan menulis laporan penelitian dengan ketekunan yang sama. Sains menjadi bahasa iman, dan iman menjadi napas bagi sains.

Maka ketika ia menutup disertasinya di ruang sidang itu, mungkin alam juga ikut bersukacita, air mengalir sedikit lebih jernih, ikan pelangi menari di bawah cahaya lembut, dan bumi berbisik pelan: pengetahuan akhirnya pulang, kembali ke tangan yang tahu bagaimana menjaga kehidupan agar tidak hilang.

*Penulis adalah pengajar di SPGJ GKI Lahai Roi, Manokwari. Ia menulis di Aneta tentang perempuan, teologi dan pendidikan.

Tentang Aneta

Aneta lahir sebagai respons atas kekosongan itu. Kami adalah media alternatif yang hadir untuk mendokumentasikan, menyuarakan, dan memperjuangkan pengalaman serta pengetahuan perempuan Papua dan kelompok marjinal. 

Kontak: +62 …

Visi

“Aneta menjadi ruang berpikir, berlawan, dan bertutur bagi perempuan dan kelompok marjinal untuk masa depan yang adil, setara, dan tanpa diskriminasi.”

Aneta @2025