• Home  
  • Membongkar Relasi Agama dan Gender: Antara Diskriminasi, Representasi, dan Spiritualitas Perempuan
- Budaya & Tradisi - Hak Perempuan

Membongkar Relasi Agama dan Gender: Antara Diskriminasi, Representasi, dan Spiritualitas Perempuan

Penulis : Abed Nego Tabuni Pendahuluan Isu gender menjadi isu yang sangat penting diperhatikan dewasa ini dikarenakan realitas dalam kehidupan masyarakat memperlihatkan adanya perbedaan gender yang mengakitbatkan terjadinya perbedaan status sosial, serta peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan, dan perbedaan ini tidak sedikit telah banyak menimbulkan diskrimanasi dan penindasan terhadap kaum perempuan untuk […]

Penulis : Abed Nego Tabuni

Pendahuluan

Isu gender menjadi isu yang sangat penting diperhatikan dewasa ini dikarenakan realitas dalam kehidupan masyarakat memperlihatkan adanya perbedaan gender yang mengakitbatkan terjadinya perbedaan status sosial, serta peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan, dan perbedaan ini tidak sedikit telah banyak menimbulkan diskrimanasi dan penindasan terhadap kaum perempuan untuk mengeluti ruang publik.

Kenyataan sosial dan budaya memperlihatkan adanya ketimpangan dalam hubungan laki laki dan perempuan. Kaum perempuan sering diposisikan sebagai subordinat terhadap laki-laki,, yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan marginalisasi terhadap mereka. Diskriminasi ini, , selain dikarenakan faktor ideologi dan budaya dominan yang memihak kepada kaum laki laki, juga sangat dipengaruhi kuat oleh faktor agama yang seolah olah melegitimasi ketidaksetaraan tersebut. Kritik feminis terhadap pengaruh agama dalam problematika gender adalah bahwa agama berperan dalam memperkuat budaya yang bersifat patriarkal. Fenomena ini ini berakar pada tiga hal berikut; persoalan patriaki, androsentrisme, dan seksisme. Penting juga untuk melihat problematika ini dari sejarah Kekristenan yang berkembang dalam budaya-budaya tertentu. Orang Kristen, bukan hanya anggota gereja tetapi juga termasuk dalam anggota budaya tertentu.

Sarjana feminis, Beverly Clack, melihat bahwa model Tuhan yang dominan dalam agama Kristen adalah produk budaya patriarki. Dalam budaya patriarki, patriark diartikan sebagai orang yang dominan dan memimpin masyarakat.. Inti dari budaya patriarki adalah dominasi laki-laki, dan budaya patriarki diwujudkan dalam agama patriarki yang berfungsi untuk menopang peran dominan laki-laki tersebut. Tidak mengherankan bahwa Kekristenan dibentuk oleh budaya patriarkal. Inilah sebabnya mengapa model Tuhan dalam Kekristenan sangat mencerminkan budaya itu: Tuhan Bapa, Tuhan Raja, Raja Damai, Tuhan Yang Mahakuasa. Karena model Tuhan mencerminkan hubungan manusia, model patriarki Tuhan tercermin dalam pola hierarkis hubungan dalam masyarakat. Sudah menjadi hal yang wajar bahwa laki-laki ditempatkan pada urutan yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan perempuan. Jika Tuhan berada di posisi yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan manusia, maka laki-laki berada dalam posisi yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan wanita karena laki-laki adalah wakil Tuhan.

Diskusi ini akan mempertimbangkan gambaran-gambaran yang berbeda dari perempuan dan laki-laki yang ditemukan dalam teks-teks suci dalam agama-agama dunia. Agama dan gender ini berusaha untuk menentukan peran aktual yang dimiliki perempuan dalam berbagai agama dunia atau dalam berbagai komunitas agama. Tulisan ini akan mengeksplorasi persoalan gender dalam hubungannya dengan Agama. Bagaimanakah peran agama dalam memaknai gender dan peran gender; bagaimana pengalaman religious perempuan dan laki laki; bagaimanakah perempuan dalam organisasi keagamaan; bagaimana partisipasi perempuan dalam kelompok agama; feminisme dan agama; serta agama, seksualitas, dan orientasi keluarga.

Peran Agama Dalam Memaknai Gender

Kajian Gender dan Seks, keduanya harus lah dibedakan, Konsep seks berbicara tentang 2 jenis kelamin manusia yang dilihat secara biologis yang melekat pada jenis kelaminnya masing masing. Sementara, konsep Gender pada umumnya berbicara sifat dari laki laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. Gambaran singkat tentang citra perempuan dan laki-laki yang terdapat dalam agama-agama dunia dapat dipahami dari pertanyaan kritis berikut.  Apa yang teks-teks suci ajarkan tentang perempuan? Apa simbol feminitas dan maskulinitas? Oleh karena itu sangat perlu untuk  melihat sekilas gagasan tentang gender dalam agama agama di dunia baik Kristen, Yudaisme, Islam, Hindu, Sikh, dan Buddha.

Dalam Kekristenan, para teolog dan filsuf telah mengajarkan bahwa Tuhan bukanlah laki-laki atau perempuan. Namun, pada awal 1980-an, feminis Kristen Amerika Rosemary Radford Ruether menyajikan salah satu kritik sistematis pertama teologi Kristen dari perspektif feminis, dia menemukan bahwa “pembicaraan Tuhan”, yang biasanya disajikan secara objektif dan netral, sebagian besar disampaikan sebagai laki-laki.

Pendirian agama Kristen berfokus pada Yesus Kristus sebagai Tuhan yang menjadi daging dalam jenis kelamin laki-laki. Dalam tradisi Kristen, perempuan dipandang sebagai subordinat dari laki laki, baik dalam penciptaan maupun dalam kehidupan sehari-hari, meskipun kesetaraan selalu diajarkan dalam pengajaran tentang keselamatan. Beberapa bagian kitab suci berbicara tentang subordinasi perempuan.

Sedangkan Katolik memberikan lebih banyak ruang untuk identifikasi tokoh agama perempuan, terutama Maria, ibu Yesus. Agama Yahudi-Kristen mempertahankan struktur maskulin dan hierarkis yang mendiskriminasi dan mengecualikan perempuan, ada beberapa pendapat bahwa masih ada aspek feminim dalam tradisi keagamaan ini. Yang lain berpendapat bahwa bagian-bagian dari Perjanjian Baru memberikan gambaran positif tentang perempuan. Sebagai contoh, Perempuan menerima berkat Yesus, mereka adalah pengikut-Nya, mereka berpartisipasi dalam perjamuan ritual, mereka digunakan sebagai bahan pengajaran Yesus.

Seorang feminis Islam dengan akar Indo-Pakistan yang tinggal di Amerika Serikat, telah menyatakan bahwa sikap negatif terhadap perempuan yang berlaku dalam masyarakat Muslim berakar pada dua asumsi teologis: pertama, bahwa laki-laki adalah asal penciptaan; kedua, bahwa perempuan didefinisikan sebagai penggoda; dan ketiga, bahwa perempuan diciptakan sebagai sarana bagi laki-laki. Pertanyaan tentang hubungan gender kemudian menjadi relevan dalam lingkup keluarga dan dalam konteks sosial. Di dalam lingkungan keluarga, hubungan gender terkait erat dengan gagasan tentang pernikahan dan keluarga dalam Islam.

Hubungan ideal antara seorang laki-laki dan seorang perempuan hanya dapat terjadi dalam pernikahan dan hubungan pernikahan ini harus didasarkan pada gagasan saling melengkapi dan bukan kesetaraan. Tentang Hubungannya dengan diskursus gender, Al-qur’an menyatakan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah keluarga, dan mereka adalah pelindung dan pemelihara kendali perempuan. Bahkan mengizinkan hukuman fisik terhadap perempuan dalam situasi tertentu.

Dalam agama Hindu, ditemukan bahwa pandangan tentang perempuan itu ambigu. Dalam kitab suci Weda, para dewa didominasi oleh laki-laki. Hal ini mencerminkan masyarakat patriarki, di mana hubungan gender sering dibahas dalam istilah “kasta laki-laki” dan “kasta perempuan”.

Perbedaan mendasar yang mempengaruhi hubungan gender adalah tentang kemurnian dan ketidakmurnian. Kotoran lebih terkait dengan perempuan daripada laki laki. Misalnya, perempuan yang sedang haid tidak diizinkan masuk pura. Hanya orang yang murni, atau orang dari kasta atas, yang dapat mencapai kebebasan spiritual. Namun demikian, agama Hindu memiliki tradisi pemujaan dewi perempuan yang kuat. Hinduisme merasakan energi kosmik ilahi, Shakti, sebagai perempuan. Selain itu, Dewi agung, yang disebut Devi atau “ibu”, muncul dalam beberapa bentuk berbeda. Dia sumber dari semua keberadaan, dan terkadang digambarkan sebagai ibu alam semesta.

Dalam agama Buddha berbagai tradisi menyajikan pandangan yang berbeda tentang perempuan. Perempuan tidak dapat mencapai kebebasan spiritual laki-laki kasta atas, sebab sang Buddha mengajarkan bahwanirwana (pembebasan) berada dalam jangkauan perempuan dan laki laki, kaya dan miskin. Dalam dua abad setelah kematian sang Buddha, dua aspek berbeda dari Buddhisme berkembang. Di dalam aliran Hinayana, sikap anti-perempuan adalah hal biasa sebab aliran ini menganggap bahwa perempuan dianggap jelek, buta, celaka, dengan nafsu seksual yang besar, sedangkan laki laki dipandang mulia, setia, murah hati, dan suci.

Aliran Buddhisme lainnya yaitu Vajrayana dan Zen. Vajrayana berasal dari Tibet dan memiliki kecenderungan yang kuat terhadap kesetaraan perempuan. Namun demikian, masih belum ada penahbisan penuh perempuan di sekolah Vajrayana. Buddhisme Mahayana barat memberikan kebebasan terbesar kepada perempuan. Sebaliknya, aliran Theravada, yang lahir dari aliran Hinayana dan menyebar ke Asia Tenggara, masih menganggap perempuan lebih rendah daripada laki-laki. 

Pengalaman Religius Perempuan dan Laki-laki

Hasil dari penelitian membuktikan bahwa gender mempunyai pengaruh terhadap pengalaman spiritual seseorang. Wanita cenderung mengutamakan kasih di dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya, sementara pria cenderung menaruh perhatian pada kekuasaan dan penilaian Tuhan. Dalam arti perempuan mengkonseptualisasikan agama dalam kerangka hubungan daripada individuasi. Lebih jauh, Ozorak melihat bahwa nampaknya perempuan cenderung lebih menghargai aspek keterhubungan dan komunitas dalam hal partisipasi agama. Hal tersebut dibuktikan melalui studi terhadap keterlibatan perempuan dalam komunitas agama, yang menyimpulkan bahwa perempuan menekankan tentang pentingnya kepedulian dan komunitas, serta cara pandang yang melihat Tuhan sebagai sosok teman daripada penguasa atau hakim kosmik.

Perempuan juga telah menciptakan agama yang berpusat pada kelompoknya. Ini berada di luar tradisi agama yang dominan. Tingkat organisasi mereka juga bervariasi. Hal tersebut merupakan cara baru perempuan membentuk jalan alternatif untuk mengeksplorasi agama. Gerakan spiritualitas perempuan terdiri dari sejumlah kelompok ritual yang berpusat pada perempuan yang mendukung otoritas ritual perempuan dan berorientasi pada dewa perempuan dan perayaan ritual. Salah satu tema penting adalah bagaimana kepercayaan, ritual, dan simbol ini memberdayakan perempuan. Perempuan telah kreatif dalam membentuk ritual baru dan menafsirkan kembali simbolisme agama.

Penting untuk diketahui bahwa ada gerakan spiritual pria juga. Salah satu contohnya adalah gerakan Injili Amerika untuk pria (Barkowski 2004; Brickner 1999; Williams 2001). Di sini, ritual-ritual tersebut bersifat ritual inisiasi laki-laki. Pada saat yang sama, mereka juga mengekspresikan transformasi diri. Kelompok-kelompok ritual yang berpusat pada perempuan juga muncul dalam agama-agama tradisional, misalnya, gerakan liturgi feminis dalam agama Kristen dan Yudaisme (Procter-Smith dan Walton 1993). Para perempuan yang ambil bagian adalah perempuan yang ditahbiskan atau perempuan  awam yang tidak puas dengan upacara adat dan yang telah memilih untuk membuat liturgi yang memenuhi kebutuhan spiritual mereka. Karena gerakan ini mengklaim otoritas ritual perempuan, biasanya gerakan ini memiliki ketegangan dengan gereja atau sinagoge resmi.

Peran Perempuan dalam Organisasi Keagamaan

Dalam studi tentang perempuan dan agama, beberapa cendikiawan telah menganalisis institusi keagamaan dan peran aktual perempuan dalam komunitas agama yang berbeda. Sosiolog agama dari Amerika yaitu Rodney Stark menemukan bahwa perempuan telah memainkan peran yang penting pada kekristenan mula-mula. Perempuan sering melayani sebagai Diaken, yang berarti mereka membantu dalam bidang liturgi serta kegiatan amal gereja. Posisi tersebut menjadi penting, karena mengandung kehormatan dan otoritas, mengingat perempuan  bertugas sebagai penginjil dan guru. Perempuan juga turut berkontribusi pada pertumbuhan kekristenan mula-mula karena mereka umumnya merekrut para suami. Dengan demikian Stark menyimpulkan bahwa wanita merupakan salah satu faktor utama dalam pertumbuhan dan penyebaran kekristenan mula-mula.

Sejumlah penelitian tentang perempuan dalam gerakan keagamaan pra-abad kedua puluh menemukan bahwa, di Norwegia, gerakan Lutheran yang diwakili oleh gerakan Hauge pada awal abad kesembilan belas, memberikan lingkup gerak yang lebih luas kepada perempuan, karena mereka berfungsi sebagai pembicara dan pemimpin kelompok-kelompok lokal. Namun, gerakan Misionaris dari Tahun 1880 hingga 1920 mulai membatasi peran perempuan. Pandangan yang diterima secara luas pada periode ini adalah bahwa perempuan tidak boleh menjadi pembicara atau pemimpin.

Peran Perempuan Dalam Agama Katolik

Di gereja Katolik Roma perempuan tidak diterima menjadi Imam. Mereka Dianggap tidak dapat bertindak secara pribadi Kristus (Farrell 1991: 339). Namun, pada tahun 1965 wanita Katolik di Amerika Serikat diterima di sekolah Teologi untuk persiapan menjadi pelayan, dan pada tahun 1983 pintu dibuka untuk pengangkatan kaum awam sebagai administrator Paroki. Pada awal 1990-an, perempuan memimpin sekitar dua persen Paroki Katolik di Amerika Serikat (Wallace 1994). Dengan cara ini, Perempuan  Katolik telah berusaha untuk mengubah gereja dari dalam. 

Peran Perempuan dalam Komunitas Yahudi

Salah satu alasan di balik banyaknya perpecahan di antara orang Yahudi saat ini berkaitan erat dengan gender. Ada perbedaan cara pandang terhadap wanita antara kelompok Ortodoks dan kelompok lainnya (Berkowitz 1999: 551). Kelompok Ortodoks melarang perempuan menjadi Rabi dan mengambil bagian dalam peran liturgi, ritual, dan pengambilan keputusan. Di Sinagoge, perempuan biasanya dipisahkan dari pria dengan sekat. Kelompok-kelompok lain dalam Yudaisme telah memasukkan perempuan pada tingkat yang lebih setara. Dalam dua puluh tahun terakhir, para pemimpin dalam Yudaisme Reformasi di Amerika Serikat telah menanggapi keprihatinan perempuan dalam beberapa cara: Penahbisan perempuan, ritual penamaan anak perempuan, bahasa tentang perempuan, dsb. Pada tahun 1972 wanita untuk pertama kalinya ditahbiskan menjadi Rabi dalam gerakan Reformasi.

Peran Perempuan dalam Komunitas Islam

Perempuan Muslim Eropa dan Amerika Utara telah memainkan peran penting dalam komunitas mereka. Beberapa wanita menjadi cendikiawan Islam (Roald 2001), Contoh lainnya adalah bagaimana perempuan menjadi instruktur utama dalam Imam dan praktek Islam bagi perempuan dan anak-anak di komunitas mereka. Beberapa bekerja di sekolah-sekolah Muslim sebagai guru. Banyak perempuan juga berfungsi sebagai anggota dewan di berbagai jemaat dan bertanggung-jawab atas keuangan jemaat (Nyhagen Predelli 2004). 

Peran Perempuan Dalam Komunitas Hindu

Dalam agama Hindu, para pemimpin di kuil-kuil umumnya laki-laki. Pola tersebut juga berlaku dalam konteks barat yang pendeta kuil biasanya dipegang oleh pria dari kasta Brahmana. Namun demikian, perempuan terlibat dalam administrasi bait suci pada tingkat yang berbeda. Di Amerika Serikat beberapa memegang posisi kepemimpinan terkemuka di Bait Suci yang lebih besar. Perempuan juga melakukan inovasi fungsi ritual baru, seperti mengikuti prosesi yang sebelumnya hanya dilakukan oleh laki-laki. Di Michigan bahkan ada gerakan Monastik perempuan, Sarada Ashram. Praktik Hindu di Barat perlahan mengalami perubahan untuk mengakomodasi perempuan (Narayanan 1999). 

Partisipasi Perempuan dalam Kelompok Agama

Di Amerika Serikat, data sensus dari tahun 1926 menunjukkan bahwa mayoritas anggota sekte, serta anggota sebagian besar denominasi arus utama di Amerika Serikat, adalah perempuan.  Banyak gerakan keagamaan baru yang muncul pada tahun 1970-an juga menunjukkan pola keanggotaan perempuan yang sama. Perempuan dari segala usia terus mengungguli pria dalam sebagian besar ukuran religiusitas. Studi dari Amerika Serikat telah menunjukkan kecenderungan bagi perempuan untuk memiliki sikap yang lebih positif terhadap agama Kristen daripada pria dan mereka cenderung mendapat skor lebih tinggi daripada pria dalam hal minat pada agama, memiliki komitmen keagamaan pribadi yang lebih kuat, dan menghadiri gereja lebih sering. 

Temuan dari Studi Nilai Eropa juga mengkonfirmasi skor yang lebih tinggi pada nilai-nilai agama di kalangan perempuan daripada laki-laki di Inggris, Jerman, Norwegia, dan Denmark. Perbedaan gender dalam religiusitas tidak terbatas pada bagian barat laut dunia. Sosiolog agama Inggris David Martin menemukan di Amerika Latin bahwa perempuan cenderung bergabung dengan gereja karismatik Protestan baru yang kemudian disusul oleh laki-laki. Melalui ini dapat dilihat bahwa perempuan lebih banyak partisipasinya dalam agama dibandingkan dengan laki-laki. 

Kesimpulan

Hubungan antara agama dan gender adalah isu yang kompleks dan dinamis. Artikel ini menggarisbawasi bagaimana agama, dalam banyak kasus, telah berkontribusi pada ketidaksetaraan gender melalui penafsiran teks suci dan praktik patriarkal yang dominan. Namun, penting juga untuk diakui bahwa ada upaya berkelanjutan dari sarjana feminis dan para perempuan religius untuk menafsirkan ulang tradisi, menciptakan ruang yang lebih inklusif, dan bahkan mengembangkan bentuk spiritualitas yang berpusat pada perempuan. Meskipun ada resistensi, terutama dalam struktur keagamaan yang hierarkis, partisipasi aktif perempuan dalam berbagai komunitas agama menunjukkan bahwa mereka adalah kekuatan penting dalam membentuk dan mengubah lanskap keagamaan, mendorong kesetaraan, dan memperkaya pengalaman spiritual bagi semua.

Referensi

Berkowitz, S. S. (1999). The Jews in America. New York: Oxford University Press.

Barkowski, A. (2004). The Evangelical Man: Ritual and Identity in the Promise Keepers Movement. New York: New York University Press.

Brickner, A. (1999). The Man in the Mirror: Solving the 24 Problems Men Face. Colorado Springs: NavPress.

Farrell, J. (1991) Women and the Priesthood: A Feminist Perspective. London: SCM Press.

Narayanan, V. (1999). The Hindu Tradition. New York: Oxford University Press.

Nyhagen Predelli, L. (2004). Islamic Feminism and Muslim Women’s Activism in Europe. Leiden: Brill.

Procter-Smith, M., & Walton, J. (1993). Women, Liturgy, and the Christian Tradition. New York: Seabury Press.

Roald, A. S. (2001). Women in Islam: The Western Experience. London: Routledge.

Ruether, R. R. (1983). Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology. Boston: Beacon Press.

Stark, R. (1996). The Rise of Christianity: A Sociologist Reconsiders History. Princeton: Princeton University Press.

Wallace, R. A. (1994). The Social Construction of the Family. Boston: Allyn and Bacon.

Williams, R. H. (2001). Spiritual Power and Social Transformation: The Promise Keepers Movement. New York: Routledge.

Tentang Aneta

Aneta lahir sebagai respons atas kekosongan itu. Kami adalah media alternatif yang hadir untuk mendokumentasikan, menyuarakan, dan memperjuangkan pengalaman serta pengetahuan perempuan Papua dan kelompok marjinal. 

Kontak: +62 …

Visi

“Aneta menjadi ruang berpikir, berlawan, dan bertutur bagi perempuan dan kelompok marjinal untuk masa depan yang adil, setara, dan tanpa diskriminasi.”

Aneta @2025