• Home  
  • Lika Liku Perjuangan Mahasiswa Korban Pengusuran Asrama Rususnawa UNCEN
- Pendidikan & Kapasitas - Solidaritas & Jaringan

Lika Liku Perjuangan Mahasiswa Korban Pengusuran Asrama Rususnawa UNCEN

Syukur kepada Tuhan Allah Maha Kudus, Alam Semesta, dan Leluhur Bangsa Papua yang senantiasa memberikan kehidupan bagi saya agar terus berjuang menegakan keadilan, kebenaran, kejujuran, di hadapan Hukum Kolonialisme Indonesia. Namun, keadlian tak lagi kunjung tiba, kebenaran diperjualbelikan, kejujuran menjadi sampah kehidupan bagi parasit- parasit oligarki yang memegang kendali kekuasaan. Dalam tulisan ini, saya ingin […]

Syukur kepada Tuhan Allah Maha Kudus, Alam Semesta, dan Leluhur Bangsa Papua yang senantiasa memberikan kehidupan bagi saya agar terus berjuang menegakan keadilan, kebenaran, kejujuran, di hadapan Hukum Kolonialisme Indonesia. Namun, keadlian tak lagi kunjung tiba, kebenaran diperjualbelikan, kejujuran menjadi sampah kehidupan bagi parasit- parasit oligarki yang memegang kendali kekuasaan.
Dalam tulisan ini, saya ingin menyampaikan kejujuran dan kebenaran fakta kejadian atas penggusuran paksa yang dilakukan oleh Militerisme TNI/POLRI, Panitia PON 2021, dan Lembaga Universitas Cenderawasih (UNCEN). Mereka adalah aktor kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, khususnya terhadap mahasiswa Papua. Peristiwa penggusuran paksa pada tahun 2021 tersebut dilakukan dengan kekuatan Militer TNI/POLRI yang mengklaim sebagai dalih untuk penempatan atlet PON dan renovasi asrama.

Tulisan ini menunjukkan Perjuangan Mahasiswa Uncen tanpa ada keadilan, kebenaran, dan kejujuran di hadapan hukum kolonialisme Indonesia.

Latar belakang

Faktanya, di Tanah Papua, kebenaran selalu diperjualbelikan antara hakim dan pemodal demi melanggengkan kepentingan akumulasi modal. Namun, saya, sebagai salah satu dari ribuan orang Papua, tidak akan menyerah atas segala bentuk kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) yang terus terjadi. Pelanggaran HAM yang terjadi pada tanggal 21 Mei 2021 lalu adalah luka yang tidak akan pernah sembuh, karena saya adalah salah satu korban penggusuran paksa yang belum pernah mendapatkan keadilan, kebenaran, dan kejujuran di hadapan Hukum Pengadilan Abepura, Kota Jayapura, Papua. Dalam persoalan ini, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hak atas pendidikan, dan hak atas tempat tinggal yang layak, yang dilakukan oleh Lembaga UNCEN, merupakan bentuk pelanggaran ganda. Mahasiswa selama lima tahun telah terlantar tanpa adanya kepedulian lembaga terhadap hak atas pendidikan dan hak atas tempat tinggal yang layak

Saya mengingat dengan jelas, pada tanggal 21 Mei 2021  pukul 09.00 WPB. Dengan menggunakan peralatan perang lengkap, ribuan personel gabungan TNI/POLRI mengepung Asrama Universitas Cenderawasih (UNCEN) Rusunawa. Pengepungan oleh Militer TNI/POLRI ini mengejutkan seluruh penghuni asrama. Setibanya di lokasi, mereka langsung menggunakan megafon untuk menyampaikan imbauan darurat, “Kepada Seluruh Penghuni Asrama agar segera tinggalkan tempat dan keluar dari lingkungan Asrama Rusunawa dan Asrama Unit 1 – Unit 6 dengan alasan, ini perintah Rektor Apolos Safanpo.”

Mereka hanya memberikan waktu satu jam bagi mahasiswa untuk mengemas barang-barang. Setelah waktu satu jam berakhir, TNI/POLRI masuk dan menggerebek asrama, membongkar pintu-pintu kamar mahasiswa menggunakan senjata. Tidak lama kemudian, ekskavator/alat berat tiba dan menghancurkan tangga-tangga gedung asrama. Seluruh penghuni dikumpulkan di depan halaman bola voli dan futsal Beberapa pengurus asrama dan saya, selaku penghuni yang memimpin massa mahasiswa, ingin bernegosiasi. Namun, kami dipukul babak belur oleh TNI/POLRI dengan alasan bahwa bukan saatnya bernegosiasi, melainkan saatnya untuk keluar meninggalkan asrama. Pada saat itu juga, beberapa pengurus asrama ditarik paksa keluar dari kerumunan massa mahasiswa menuju jalan besar, dengan tuduhan memprovokasi. Bahkan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH Papua) tidak diberikan izin untuk masuk ke lingkungan asrama

Saya masih ingat sekali, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH Papua), Emanuel Gobai, sempat ditarik oleh Polisi untuk dikeluarkan dari lingkungan asrama. Namun, karena situasi massa yang ricuh, akhirnya polisi membiarkan Saudara Emanuel masuk untuk berbicara dengan mahasiswa korban penggusuran paksa.

Militer TNI/POLRI menjadi dalang pelanggaran HAM berat dalam kasus ini. Pada saat proses penggusuran paksa Asrama Mahasiswa UNCEN, dengan watak arogansinya, mereka membungkam seluruh ruang gerak dan ruang berpendapat kami, para penghuni asrama mahasiswa. Saat itu, situasi kami berada di bawah kendali militerisme TNI/POLRI karena seluruh ruang gerak dan ruang untuk menyampaikan pendapat dibungkam habis dengan alasan bahwa bukan saatnya berbicara, melainkan saatnya untuk mengemas barang dan keluar dari asrama.

Ketika situasi penggusuran berlangsung, hampir seluruh penghuni menangis. Hal itu mendorong saya dan beberapa pengurus asrama untuk membawa keluar seluruh massa mahasiswa dengan satu sikap spontan: “Mogok Pendidikan di UNCEN.”

Setelah kami dikeluarkan dari asrama, seluruh penghuni asrama berdiskusi di pinggir jalan raya pada malam harinya. Beberapa kesimpulan yang kami dapat dari diskusi tersebut adalah:

  • Kami sepakat membentuk posko umum di depan Asrama Rusunawa UNCEN dan beberapa sektor posko lainnya.
  • Kami malam itu juga membentuk struktur posko, yaitu Ketua Fredi Kogoya dan Sekretaris saya sendiri, Varra Iyaba, serta Penanggung Jawab Devanus Siep dan David Wilil selaku Badan Pengurus Asrama.
  • Kami malam itu sepakat secara kolektif untuk menempuh jalur hukum agar kami dapat membuktikan kebenaran di pengadilan.
  • Kami juga mengumpulkan data alat-alat mahasiswa yang menjadi korban dan mengambil data seluruh mahasiswa yang mengalami penggusuran paksa.
  • Setelah itu, terkait persoalan penggusuran paksa Asrama Mahasiswa, kami secara resmi memberikan kuasa penuh kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH Papua) sebagai pendamping hukum kami.

Proses hukum kasus penggusuran di pengadilan semakin tidak jelas. Terkesan, hakim dan lembaga UNCEN “berselingkuh” di atas mimbar pengadilan serta memperjualbelikan hukum kolonialisme. Kami, korban penggusuran, telah menunggu kepastian hukum mengenai keadilan, kebenaran, dan kejujuran sejak tahun 2021 hingga kini (2025), namun belum ada tanda kemenangan, dan kebenaran masih buram di pengadilan.

Dasar Pemikiran Kami Melimpahkan Kasus ke Jalur Hukum

Setiap persoalan, baik itu politik, sosial, ekonomi, maupun budaya, yang dialami umat manusia di dunia memiliki kerinduan yang sama tentang kedamaian, keadilan, kebenaran, dan kejujuran di hadapan hukum, baik hukum negara maupun hukum adat. Kami, mahasiswa korban penggusuran paksa Asrama UNCEN, memiliki keinginan akan keadilan, kebenaran, dan kejujuran dari hakim yang mulia di pengadilan. Namun, keadilan tidak lagi memihak korban.

Kami sebagai mahasiswa korban penggusuran paksa merasakan dan menyatakan dengan jujur bahwa hukum di Indonesia berlaku untuk pemodal atau orang yang memiliki uang. Hakim berselingkuh dengan pelaku dan memberikan perlindungan hukum terhadapnya. Walaupun keadilan, kebenaran, dan kejujuran terlihat buram di pengadilan, semangat kami akan terus berkobar sepanjang masa di jalan perjuangan.

Tujuan

Setiap orang memiliki kerinduan untuk mendapatkan keadilan. Oleh karena itu, mahasiswa korban penggusuran paksa Asrama UNCEN melimpahkan kasus ini dengan harapan yang sama, yaitu menuntut keadilan. Kami juga menuntut agar Pengadilan Negeri Abepura memberikan efek jera hukum kepada lembaga UNCEN atas praktik-praktik yang melanggar hak asasi manusia (HAM), melanggar hak atas pendidikan, dan melanggar hak atas tempat tinggal yang layak bagi mahasiswa.

Sikap Kami!

  • Kami mendesak Lembaga UNCEN agar segera bertanggung jawab atas segala bentuk kerugian mahasiswa yang menjadi korban penggusuran paksa pada 21 Mei 2021 lalu di Rusunawa Kamwolker Perumnas III Waena, Kota Jayapura, Papua.
  • Kami mendesak Pengadilan Negeri Abepura, Kota Jayapura, agar segera mempercepat proses hukum dan memberikan kepastian hukum kepada mahasiswa korban penggusuran paksa Asrama UNCEN.
  • Kami mendesak Panitia PON 2021 dan Pemerintah Provinsi Papua agar segera bertanggung jawab atas penggusuran paksa Asrama Mahasiswa UNCEN.
  • Kami meminta kepada Negara Indonesia agar segera menangkap dan mengadili mantan Rektor UNCEN, Apolos Safanpo, selaku aktor penggusuran paksa Asrama Mahasiswa.

Penutup

Kesimpulan

Kami, sebagai manusia yang menjadi korban Penggusuran Paksa Asrama Mahasiswa Universitas Cenderawasih (UNCEN), merindukan kemenangan, keadilan, kebenaran, dan kejujuran. Kami juga memiliki kerinduan untuk dihargai atas suara teriakan kami dari waktu ke waktu, yang kini sudah lima tahun lamanya. Walaupun suara kami tak lagi didengar, dan tetesan air mata kami tak dipedulikan, kami akan terus menanam benih pahit ini di setiap lahan baru agar api perlawanan tetap menyala di setiap waktu

Tentang Aneta

Aneta lahir sebagai respons atas kekosongan itu. Kami adalah media alternatif yang hadir untuk mendokumentasikan, menyuarakan, dan memperjuangkan pengalaman serta pengetahuan perempuan Papua dan kelompok marjinal. 

Kontak: +62 …

Visi

“Aneta menjadi ruang berpikir, berlawan, dan bertutur bagi perempuan dan kelompok marjinal untuk masa depan yang adil, setara, dan tanpa diskriminasi.”

Aneta @2025