• Home  
  • “14 MEI 2025, ANETA LAHIR  DAN INGIN BERNAPAS PANJANG KE DEPANNYA”
- Berita

“14 MEI 2025, ANETA LAHIR  DAN INGIN BERNAPAS PANJANG KE DEPANNYA”

“Ruang Digital adalah perpanjangan realitas, Ia persis sama dibentuk oleh dunia yang kita huni ini : penuh dengan Kapitalisme, Rasisme dan Patriarki” -Dinda, Purplecode Collective- Pada tanggal 14 Mei 2025, Media Perempuan Papua, ANETA resmi dilahirkan di ruang publik. Ia diharapkan menjadi ruang pertemuan bagi berbagai ide-ide, pengalaman, pengetahuan dan perjuangan perempuan Papua yang selama […]

“Ruang Digital adalah perpanjangan realitas, Ia persis sama dibentuk oleh dunia yang kita huni ini : penuh dengan Kapitalisme, Rasisme dan Patriarki”

-Dinda, Purplecode Collective-

Pada tanggal 14 Mei 2025, Media Perempuan Papua, ANETA resmi dilahirkan di ruang publik. Ia diharapkan menjadi ruang pertemuan bagi berbagai ide-ide, pengalaman, pengetahuan dan perjuangan perempuan Papua yang selama ini kerap terpinggirkan dari ruang wacana arus utama. Tiga pembicara diundang untuk membagikan pandangan mereka: Yason dari Lao-Lao dan Kalawai.org, Lutviana dari Konde.co, dan Dinda alias Caca dari PurpleCode Collective. Masing-masing membawa catatan tentang bagaimana peluang dan tantangan membangun media alternatif, serta bagaimana posisi perempuan dalam dunia (baik nyata maupun digital) yang jauh dari kosa kata adil dan setara. Yokbeth Felle, aktivis muda Papua sekaligus inisiator ANETA memandu diskusi dan proses peluncuran resmi laman ANETA kepada publik. 

ANETA dan peluang untuk menghadirkan narasi alternatif dan progresif. 

Pembentukan ANETA tidak sekedar untuk mengisi ‘kekosongan’ isu perempuan di ruang publik,  lebih dari pada itu, Ia adalah upaya untuk membentuk wacana yang secara terang-terangan berpihak bagi ketertindasan kaum perempuan  di Papua. Sebab bagi Seli, seorang Pendeta Perempuan dan juga salah satu pendiri ANETA, “perempuan sudah  terlalu lama disingkirkan dari ruang bertutur”, penyingkiran ini telah menimbulkan keresahan yang hendak dijawab oleh kehadiran media perempuan, yang namanya mengambil inspirasi dari pimpinan gerakan Koreri di Biak, Angganeta Manufandu. 

Masih dengan nada yang serupa,  Kawan Yason, dengan begitu bersemangat membuka pembicarannya justru dengan pertanyaan “Mengapa terlalu lama?” keberadaan media perempuan di Papua adalah hal yang sudah lama ditunggu-tunggu. Ia mengingatkan bahwa meski cukup banyak media alternatif lahir di tanah Papua, banyak di antaranya yang kemudian memilih untuk bersifat anonim, hal ini sangat dipahami mengingat ketatnya sensorship dan tekanan negara terhadap pemberitaan di Papua. Secara konten, kualitas media-media anonim ini dapat dikatakan cukup baik untuk menghadirkan wacana-wacana akar rumput, tapi mereka tidak populer dan tidak dapat menjangkau khalayak yang lebih luas. Menurut Yason, ini menandakan adanya celah yang mendesak: masyarakat butuh media yang dekat, terbuka, dan berpihak secara tenang-tenagan. Di sinilah ANETA, yang memperkenalkan diri sebagai Media Perempuan Papua bisa dapat hadir dengan leluasa, dengan membawa isu yang sangat spesifik dan berpeluang untuk membangun wacana alternatif bagi publik luas. 

ANETA tentu banyak mengambil inspirasi dari berbagai media perempuan di luar sana yang telah lama hadir secara konsisten di ruang publik untuk menyuarakan permasalahan struktural yang dihadapi oleh perempuan. Salah satunya adalah  Konde.co. Lutviana, membagikan pengalamannya membangun Konde selama 10 tahun terakhir, baginya membangun dan mengawali sebuah media itu dapat dikatakan mudah, namun menjaga keberlangsungannya untuk dapat bernapas panjang adalah tantangan terberat yang hanya bisa dijawab dengan satu karakter saja : konsisten, konsisten dan konsisten. Ia mengingatkan bahwa ANETA memaang memiliki peluang besar untuk bertumpuh sebagai media perempuan yang konsisten mengawal isu-isu penting di Papua, namun hal tersebut hanya dapat dilakukan secara bertahap, tidak perlu terburu-buru, dan membangun fondasi yang kuat. Di Papua, dengan segala kelindan antara represi negara, kapitalisme dan kultur patriarki, tentu membangun media sudah menjadi tantangan sendiri, jangankan memikirkan bagaimana ‘menjaga napasnya’. Oleh karena itu, peluang yang besar tadi harus diikuti oleh konsistensi dalam kurun waktu yang panjang. 

Sementara itu, Dinda menyoroti sisi lain dari ruang digital yang selama ini mungkin luput dimaknai oleh publik : bahwa ia bukanlah ruang yang netral sama sekali. Ruang digital adalah perpanjangan dari dunia nyata, ia dibentuk persis seperti apa yang terjadi pada ruang nyata, yakni oleh kapitalisme, rasisme, kolonialisme, dan patriarki.  Tata kelola yang mengatur ruang digital, begitu istilah yang Dinda gunakan, tidaklah demokratis, seperti yang digembor-gemborkan selama ini. Ia memberi hak istimewa bagi segelintir orang dan kelompok yang dengan kuasa dan modalnya untuk mengatur apa yang boleh dan tidak di ruang-ruang digital. Sensorhip telah menjadi lawan serius bagi banyak gerakan-gerakan sosial di dunia ini.  Oleh karena itu, membangun media seperti ANETA di ruang digital merupakan sebuah upaya yang strategis,meskipun lagi-lagi penuh tantangan. ANETA bisa menjadi tempat bagi perempuan adat, buruh, petani, dan mereka yang termarginalkan untuk berbagi kisah dan menyusun pengetahuan kolektif untuk melawan narasi dominan yang dikendalikan oleh segelintir kelas. Pengingat oleh Dinda menjadi penting untuk direnungkan jika ANETA ingin bernapas panjang ke depannya. 

Tantangan internal dan struktural

Namun, tentu di balik peluang itu, membangun media alternatif seperti ANETA tentu tidak bebas dari tantangan, baik yang datangnya dari internal maupun eksternal. Tekanan eksternal lebih banyak berkaitan dengan struktur masyarakat yang masih sangat patriarki dan sistem penindasan dan kapitalisme yang telah mengakar dan menyusup ke berbagai lini kehidupan, termasuk ruang digital. ANETA ke depan mungkin akan berhadapan dengan penolakan yang akarnya adalah konstruksi sosial yang memang menempatkan perempuan di ranah subordinat. Lantas bagaimana ANETA bertahan terhadap hal tersebut? Atau pertanyaan lebih jauh, mampukan ANETA membawa perubahan pandangan dan menghadirkan wacana progresis untuk menantang struktur masyarakat yang demikian. Yason mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Selain itu Yason juga memberi peringatan lainnya berkenaan dengan tantangan internal: satu-dua tahun pertama merupakan masa yang paling berat dan genting. Serangan digital, potensi doxing, hingga konten yang dianggap memicu kontroversial bisa saja terjadi dan melemahkan semangat tim redaksi. Selain itu, tantangan internal organisasi pun juga tidak kalah menguras energi menunggu: konsistensi dan semnagat turun naik dari para tim, arah keredaksian, dan keputusan-keputusan strategis yang memerlukan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. 

Lutviana pun juga menyoroti pentingnya tiga hal: konten yang konsisten, dana dan daya, serta manajemen tim yang adaptif. Konten  yang konsisten akan lebih menarik semangat dan perhatian pembaca dalam jangka waktu panjang. Misalnya, jika media memutuskan untuk menghadirkan konten satu kali dalam seminggu, maka untuk ke depannya, standar tersebut harus terpenuhi. Sebab jika media tidak memiliki konsistensi “posting seminggu sekali, terus kemudian vakum dan menghilang dalam jangka panjang” maka untuk menjangkau ulang para pembaca akan sulit dilakukan.  Konsistensi ini berkaitan erat dengan ketersediaan tenaga, waktu dan pendanaan. Ketiga hal yang menurutnya akan menjadi tantangan terbesar ke depan. Selain itu manajemen media yang adaptif juga akan mempermudah proses pengelolaan media. Tanpa ketiganya, media akan kesulitan bertahan. Pengalaman Konde yang mengalami pergantian wajah redaksi setiap tiga tahun adalah contoh bahwa dinamika internal sangat memengaruhi keberlangsungan napas media. Maka, perlu ada strategi jangka panjang yang fleksibel dan tidak mengorbankan semangat kolektif. Namun ia mengingatkan, bahwa strategi Konde mungkin saja berbeda dengan apa yang akan ditempuh oleh ANETA, hal ini harus tentu harus disesuaikan dengan sumber daya dan tantangan yang ada di Papua, yang tentu berbeda dengan media Konde. 

Semntara itu, Dinda kembali mengingatkan wajah teknologi  yang sesungguhnya, bahwa ia bukanlah sekadar alat netral, tetapi ruang politik. Ia menjelaskan bahwa proses sensorship di ruang digital kerap terjadi dan bertujuan secara sistematis sebagai bentuk intervensi dan represi suara-suara kritis demi keuntungan kelas-kelas tertentu, namun pada saat yang sama, ketika masalah mendesak lainnya muncul seperti Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau judi online merebak, teknologi ini justru “melarikan diri” dari tanggung jawab, tanpa peduli untuk mengintervensi sedikitpun.  Klaim demokratis dan netral media pada akhirnya menjadi omong kosong belaka dan sama sekali tidak boleh dipercayai seutuhnya. Oleh karena itu, bagi Dinda, tugas gerakan sosial Tidak hanya membangun konten dan jurnalisme alternatif,  tapi juga membangun sebuah tata kelola teknologi yang adil. Purplecode selama ini berupaya konsisten untuk mendukung perempuan dan kelompok marjinal lainnya di ruang digital melalui berbagai macam aktivitas seperti pelatihan keamanan holistik, digital security dan KBGO, memfasilitasi ruang dan  sharing pengetahuan, terlibat dalam aksi solidaritas, dan menjadi helpdesk keamanan digital dan kbgo bagi gerakan. Untuk itu, ANETA juga diharapkan mampu membangun kapasitas internal soal keamanan digital, memahami bagaimana teknologi bekerja, dan merancang strategi keberlangsungan yang tahan terhadap represi digital. 

Merawat yang telah dilahirkan

Ketiga pembicara sepakat bahwa ANETA tentu tidak sendirian. Tidak sedikit media yang didedikasikan untuk lahir sebagai jawaban atas kebutuhan akan ruang yang adil dan setara. Namun, tidak semua bisa bertahan dan konsisten karena berbagai tantangan luar maupun dalam. Maka dari itu, amat penting untuk terus belajar  dan terbuka dengan pengalaman yang terdahulu. Konde, misalnya, mengusung jurnalisme publik, sebuah pendekatan di mana media bukan hanya menyampaikan, tapi juga berjangkar dalam gerakan sosial. Di sini, media menjadi adalah corong bagi gerakan untuk mendorong perubahan baik dalam upaya memengaruhi kebijakan maupun dalam membentuk kesadaran masyarakat. Konde misalnya telah lama terlibat dalam kampanye-kampanye strategis dan solidaritas, seperti memproduksi konten yang menunjukkan urjensi pengesahan rancangan undang-undang tentang perlindungan pekerja rumah tangga (RUU PRT). Hal ini menjadi penting, sebab kita tahu kuasa oligarki terhadap media-media arus utama di indonesia tentu tidak akan memberi ruang bagi suara-suara marjinal seperti ini. 

PurpleCode lebih memilih membangun pendekatannya melalui tiga hal: produksi pengetahuan, perluasan gagasan, dan pembongkaran wacana dominan, yang tujuan utamanya adalah untuk membongkar struktur yang tidak adil di ruang digital dan merombak tata kelola tekhnologi yang bias kelas dan identitas lainnya. Strategi ini sesuai dengan visi mereka yang hendak menghubungkan tentang bagaimana kuasa teknologi membentuk penindasan perempuan. Sementara,   Kalawai sebagai organisasi akar rumput mengingatkan ANET untuk tidak melupakan basis dengan berkontribusi pada distribusi pengetahuan.  Pelatihan menulis adalah salah satu cara strategis untuk memperluas basis pengetahuan dan menjembatani pengalaman antar wilayah. Menurut Yason, pelatihan menulis dapat menjadi medium mendorong lahirnya generasi-generasi baru Papua yang dapat menyuarakan keresahannya sendiri. 

Peluncuran ANETA adalah permulaan dari sebuah perjalanan yang panjang. Tapi seperti kata Lutviana, tidak perlu terburu-buru. Semua harus dilakukan dengan sadar, konsisten, dan tetap berakar pada cita-cita bersama, yakni  menghadirkan suara perempuan Papua yang selama ini disingkirkan dari ruang wacana. Dengan kesadaran penuh, ANETA hadir di ruang digital yang tidak netral, oleh karenanya, sejak awal media ini memang hendak berpihak secara terang-terangan tanpa perlu bersembunyi, yakni pada suara-suara yang sering kali hilang dan termarjinalkan.

Tentang Aneta

Aneta lahir sebagai respons atas kekosongan itu. Kami adalah media alternatif yang hadir untuk mendokumentasikan, menyuarakan, dan memperjuangkan pengalaman serta pengetahuan perempuan Papua dan kelompok marjinal. 

Kontak: +62 …

Visi

“Aneta menjadi ruang berpikir, berlawan, dan bertutur bagi perempuan dan kelompok marjinal untuk masa depan yang adil, setara, dan tanpa diskriminasi.”

Aneta @2025