Sejarah Papua tidak hanya milik para pria bersenjata. Ia juga ditenun oleh tangan-tangan perempuan yang diam-diam menantang kekuasaan.
Kategori Sejarah di Aneta mengangkat narasi-narasi yang selama ini tersingkir dari buku teks dan wacana publik. Dalam konteks Papua, sejarah perjuangan sering kali digambarkan dalam narasi maskulin—laki-laki bersenjata, pemimpin gerakan, tokoh karismatik. Namun, di balik semua itu, perempuan berperan penting dalam mempertahankan komunitas, merawat kehidupan, dan menopang perjuangan.
Perempuan Papua telah lama terlibat dalam gerakan perlawanan. Mereka menjadi penjaga logistik, pelindung pejuang, penyampai pesan, hingga penyintas kekerasan yang terus bersuara. Tokoh seperti Angganeta Manufandu, Mama Yosepha Alomang, dan lainnya tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, tetapi juga pengingat bahwa tubuh perempuan adalah ruang politik yang terus dilanggar dan dilawan.
Ruang ini menelusuri kontribusi perempuan dalam sejarah perlawanan Papua—dari zaman pendudukan militer hingga gerakan solidaritas modern—serta bagaimana ingatan dan pengalaman mereka membentuk kekuatan kolektif yang terus tumbuh.
Relevansi
Menulis ulang sejarah dari perspektif perempuan bukan sekadar koreksi naratif, melainkan aksi dekolonial yang merebut kembali ruang politik. Dengan menghadirkan kisah perempuan, kita mengakui bahwa perjuangan tidak hanya terjadi di medan tempur, tetapi juga di dapur, di ruang pengungsian, dan di barisan terdepan demonstrasi.